Kamis, 11 November 2010

Unskill worker -- Perkebunan

Sawit, apakah masih menjadi primadona ?

Sebelum meninggalkan daerah penugasan pada tahun 1997, terakhir kali saya mengikuti rapat di kantor wali kota. Dalam beberapa paparan, ada satu hal yang menarik yaitu sebuah penjelasan tentang perkembangan Perkebunan inti rakyat, yang mengembangkan tanaman industri Kelapa sawit. Dalam penjelasan tersebut, paling tidak menjelaskan bahwa di Kota Madya Jaya pura, terdapat 3 kecamatan yang seluruh rakyatnya dinyatakan memiliki penghasilan tetap, yang diperoleh dari pengelolaan perkebunan kelapa sawit.

Yang saya tahu kecamatan yang dimaksud adalah kecamatan Arso, kecamatan Wembi dan kecamatan Waris ( mungkin saya salah menyebut nama kecamatan, tetapi paling tidak disekitar wilayah ini). Ke 3 Kecamatan tersebut memang mengikuti program Perkebunan inti rakyat, setiap kepala keluarga dimukimkan dalam satu pemukiman yang pada masa itu disebut dengan unit pemukiman transmigrasi ( UPT). Pada pemukiman tersebut, setiap kepala keluarga menerima lahan seluas 2 hektar dan dengan bekerjasama dengan PT Perkebunan, lahan tersebut ditanami dengan kelapa sawit yang memanfaatkan dana kredit dengan bank, yang dikelola bersama antara PT Perkebunan dengan Koperasi desa. Selama 3 tahun dana kredit yang dikoordinir oleh PT Perkebunan dan koperasi desa tersebut, digunakan untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit, mulai dari pengolahan lahan sampai pemeliharaan perkebunan. Selama proses pemeliharaan, setiap orang dewasa di pemukiman tersebut terlibat aktif dengan menjadi buruh harian lepas ( BHL) yang menerima upah mingguan. Sehingga selama menunggu tanaman Kelapa sawit sampai masa panen, setiap keluarga dapat mengcukupi kebutuhan hidupnya dari upah yang diterima.



Selama proses tersebut, disamping mengembangkan perkebunan yang menjadi tanggungjawab perusahaan, fihak PTP juga melakukan pembangunan pabrik pengolahan buah sawit, sehingga pada saat kelapa sawit mulai panen, babrik tersebut sudah berfungsi. Selama pembangunan tersebut, rakyat yang memiliki ketrampilan pertukangan jugra direkrut untuk menjadi pekerja, yang diupah sebagaimana upah yang berlaku ditempat lain.

Setelah menunggu selama ± 3 tahun, masa panen tiba. Proses pemanenan, juga melibatkan penduduk UPT yang sekaligus juga pemilik 2 hektar kebun sawit, terllibat sebagai BHL untuk pendodosan, pengumpulan tandan dan pengangkutan buah sawit dari kebun menuju pabrik. Dalam proses ini berkembang usaha angkutan, yang disediakan oleh perorangan atau unit usaha untuk pengangkutan tandan buah dari kebun ke pabrik. Selain itu juga berkembang juga usaha yang lain yaitu pengankutan minyak sawit dari pabrik menuju ke pelabuhan.

Karena pengolahan minyak sawit dengan pola ini hanya mengolah minyak yang terkandung pada kulit buah, maka buah sisa produksi, menjadi komoditi tersendiri yang dapat diolah ditempat lalin dengan menggunakan pabrik khusus mengolah biji kelapa sawit, sehingga keberadaan biji kelapa sawit ini menjadi lahan kerja perorangan atau unit usaha yang bekerjasama dengan PTP.

Pembayaran kredit rakyat kepada bank, dilakukan dengan berkala setiap kali hasil panen kelapa sawit dibeli oleh pabrik untuk diolah. Koperasi yang sengaja dibentuk untuk mengurus administrasi perkebunan inti rakyat, menghitung volume buah yang dijual kepabrik setiap kebun, mencatat dan menghitunhasil yang diperoleh oleh setiap kebun, sehingga setiap kebun rakyat diketahui berapa jumlah dana yang dihasilkan dari penjualan buah sawit. Hasil ini setelah dipotong dengan jumlah cicilan kredit, dibayarkan kepada masing-masing Kepala keluarga pemilik kebun.

Pada masa itu, masih tahun 1996-1997, sementara kelapa sawit akan produktif mulai usia 3 tahun sampai 25 tahun, sehingga apabila dihitung sampai sekarang, usia tanaman tersebut , baru berusia 14 tahun yang masih produktif. Pada tahun tersebut, dengan nilai tukar dollar masih rendah, setiap kepala keluarga menerima bersih hasil penjualan buah sawit paling rendah adalah Rp. 720.000,- relatif cukup untuk menanggulangi kebutuhan hidup diwilayah tersebut, karena disamping hasil panen, masing-masing KK paling tidak 2-3 orang juga memperoleh upah dari kerja sebagai BHL, yang sudah dapat menutup kebutuhan keluarga. Sehingga hasil panen buah sawit tersebut, paling tidak dapat ditabung sebesar Rp. 500.000,- setiap bulan, sebagai persiapan untuk biaya sekolah anak atau kebutuhan lalin yang bermanfaat.

Pembukaan lahan perkebunan diwilayah Arso kompleks pada waktu itu, dikembangkan disepanjang perbatasan antara Papua dengan Papua new guinea, dengan sebagian medan yang relatif sulit, berupa perbukitan dan rawa-rawa, namun dengan niat dan kesungguhan, sebagai bentuk kerja keras untuk meningkatkan pendapatan perusahaan, proyek besar tersebut dinilai berhasil. Bahkan perkembangan pembangunan perkebunan di wilayah Indonesia tersebut telah memancing keinginan diseberang perbatasan, Papua New Guinea, meminta bantuan Indonesia untuk juga mengembangkan perkebunan kelapa sawit diwilayah mereka. Namun khusus perkembangan pembangunan diwilayah Papua New Guenea, sudah tidak memonitor karena, tugas operasi telah selesai dan pasukan kembali ke Home Base.

Pada tahun 2010, saya melakukan penelitian di wilayah Kalimantan barat, pada permasalahan khusus yang tidak berhubungan langsung dengan pengembangan perkebunan inti rakyat. Pada waktu luang saya bertemu dengan seorang pengusaha yang secara kebetulan bekerjasama dengan PTP, dengan menyewakan alat berat dan angkutan buah sawit. Pada kesempatan itu saya bertanya kepada teman tersebut apakah perkebunan kelapa sawit di Kabar dikembangkan disepanjang perbatasan. Ternyata jawabannya tidak. Saya bertanya kenapa tidak ? Ternyata perkebunan hanya dikembangkan didaerah yang mudah dan relatif datar, dengan alasan diwilayah perbatasan, medannya sulit, berbukit-bukit, sehingga pengelola perkebunan memilih daerah yang relatif datar untuk mengurangi biaya operasional.

Saya kembali berfikir, bukankah dengan pengembangan Transmigrasi yang dikombinasikan dengan perkebunan inti rakyat lebih menguntungkan dan lebih manusiawi ( meskipun pola ini tidak cocok bagi transmigran yang nantinya akan dikirimkan juga dari wilayah DKI Jakarta). Karena seperti yang telah berkembang di Papua, menurut pandangan pribadi saya dapat dikembangkan diwilayah lain. ( Semoga ini telah dikembangkan oleh pemrintah, tetapi kebetulan saya belum mengetahui)

Saya membayangkan bila ada 1000 kecamatan yang seluruh Kepala keluarga berpenghasilan tetap dari usaha sawit melalui program perkebunan inti rakyat, maka akan mengurangi cukup banyak pengangguran di Indonesia. Secara bodoh mungkin dapat dihitung , bila 1 Kecamatan terdiri dari 6 desa, masing-masing desa terdiri dari 400 KK, maka akan muncul 400 x 6 x 1000 = 2.400.000 KK berpenghasilan tetap, yang akan berpengaruh kepada jumlah anak yang dapat bersekolah dengan tenang karena orang tuanya mempunyai cukup dana untuk membiayai sekolah anak dan lebih penting Indonesia tidak perlu lagi mengirimkan Unskill worker ke Luar negeri, yang terakhir dipublikasikan seperti piaraan yang dapat diperlakukan sekehendak hati majikan. Apakah akan seperti itu terus, akan lebih bijaksana bila bekerja keras di dalam negeri demi menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat. Presiden Obama pada kuliah umum di Universitas Indonesia, salah satu statemen penting yang menawarkan atau lebih tepatnya mengingatkan Indonesia apakah " BEKERJA KERAS ATAU DIATUR ORANG LAIN"

Karena Unskill worker diluar negeri menjadi hanya menjadi bulan-bulanan ( sebagian besar) majikan dan citra Indonesia di mata dunia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada masa mudanya pernah mengatakan sebuah slogan “ Semua untuk satu, satu untuk semua” untuk menyemangati kami semua tentang pentingnya solidaritas kesatuan dan saya fikir dapat juga dijadikan slogan untuk Negara.

Tidak ada komentar: