Rabu, 03 November 2010

Disaster management

KAJIAN SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA

Oleh : Juanda Syaifuddin, M.Si (Han)

1. Pendahuluan.

Bencana Alam Tsunami, yang menghancurkan Aceh dan sekitarnya, merupakan salah satu bencana besar yang menelan banyak korban jiwa dan menghancurkan infrastruktur disegala aspek kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Bencana Tsunami sebelumnya pernah terjadi dibeberapa tempat lain di wilayah Indonesia. Rangkaian kejadian bencana yang dialami Indonesia dirasakan sebagai tantangan yang harus dihadapi dan telah menggugah kesadaran mengenai adanya kerentanan dan resiko yang akan ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat, karena Indonesia menyadari bahwa wilayahnya merupakan “ super market bencana alam “. Respon dan metode penanggulangan bencana yang dilakukan saat menghadapi bencana Tsunami tersebut, masih menerapkan pola penanganan yang lama, yang ternyata belum dapat memperoleh hasil yang optimal, sehinga pengerahan kekuatan bantuan pada saat itu berupakan respon aktif yang diluar perencanaan. Namun dari pengkajian atas pelaksanaan penanggulangan bencana tersebut mulai dapat dilihat bahwa pola yang diterapkan sebelumnya dirasakan sudah tidak memadai. Dirasakan kebutuhan untuk meningkatkan respon yang lebih proaktif, menyeluruh, dan mendasar dalam menanggulangi bencana, sebagai suatu sistem yang mangatur secara integratif semua sumber daya dan kemampuan yang dimiliki oleh pemerintah dalam menangani bencana.


Penanganan bencana, ternyata tidak hanya sebatas penanganan pada saat terjadi bencana, namun meliputi semua aspek yang ada dalam siklus bencana, untuk menyelamatkan jiwa dan harta serta mencegah terjadi dampak lain yang ditimbulkan. Kepedulian pemerintah atas penderitaan rakyat sebagai akibat bencana alam, telah memotivasi untuk menerbitkan Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang diikuti beberapa aturan pelaksanaan, yaitu Peraturan Presiden No. 08 tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, PP No. 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, serta PP No. 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing non Pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana. Respon pemerintah dalam mengantisipasi adanya kerentanan dan resiko terhadap bencana yang dituangkan dalam rangkaian peraturan terkait dengan bencana dinyatakan sebagai berikut : (1) Penanggulangan bencana merupakan tugas menyeluruh dan proaktif yang dimulai dari penataan aturan dan organisasi, pengurangan resiko bencana, tanggap darurat, serta rehabilitasi dan rekonstruksi (2) Penanggulangan bencana sebagai tugas yang dilakukan bersama oleh para pemangku kepentingan dengan peran dan fungsi yang saling melengkapi, dan (3) Penanggulangan bencana sebagai bagian dari proses pembangunan sehingga mewujudkan ketahanan (resilience) terhadap bencana.

Disadari bahwa pengembangan sistem penanggulangan bencana yang mencakup kebijakan, strategi, dan operasi secara nasional yang meliputi pemerintah pusat dan daerah belum sempurna sehingga dipandang perlu melakukan kajian untuk melihat sejauhmana kebijakan, strategi dan operasi penanggulangan bencana ini dapat lebih efektif dan efisien.



1. Sistem Penanggulangan Bencana Nasional.

Sistem penanggulangan bencana di Indonesia berdasar pada kelembagaan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pada waktu yang lalu, penanggulangan bencana dilaksanakan oleh satuan kerja-satuan kerja yang terkait yang dalam kondisi tertentu, seperti bencana dalam skala besar , maka pimpinan pemerintah pusat/daerah mengambil inisiatif dalam memimpin untuk mengkoordinasikan berbagai satuan kerja yang terkait. Dengan diterbikannya UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, maka terjadi perubahan yang cukup mendasar terhadap tugas penganggulangan bencana di Indonesia, baik tingkat nasional maupun daerah. Secara umum, peraturan ini telah mampu memberi rasa aman terhadap masyarakat dan wilayah Indonesia karena cara penanggulangan bencana dalam hal karakeristik, frekuensi dan pemahaman terhadap kerawanan dan risiko bencana, disosialisasikan secara nasional dan masyarakat dapat mengetahui serta diupayakan dapat berperan serta dalam mengurangi dampak resiko bencana.

Sejak tahun 2001, Pemerintah Indonesia telah memiliki kelembagaan penanggulangan bencana seperti tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2001. Rangkaian bencana yang dialami Indonesia khususnya sejak tsunami Aceh tahun 2004 telah mendorong pemerintah memperbaiki peraturan yang ada melalui PP No. 83 tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas-PB). Rangkaian bencana yang terus terjadi, mendorong berbagai pihak untuk mengembangkan kelembagaan penanggulangan bencana dengan mengeluarkan UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Di dalam UU tersebut, diamanatkan untuk dibentuk badan baru, yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menggantikan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas-PB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menggantikan Satkorlak dan Satlak di daerah.


Dengan adanya perubahan sistem, khususnya melalui BNPB dan BPBD maka alokasi dana untuk penanggulangan bencana, baik itu di tahap mitigasi hingga rehabilitasi dan rekonstruksi telah memiliki alokasi yang cukup melalui BNPB maupun BPBD. Sementara aturan tentang dana cadangan juga sudah diatur oleh UU, meskipun belum dilengkapi dengan aturan penggunaan yang jelas. Namun demikian, alokasi anggaran untuk bencana masih menjadi pertanyaan di kemudian hari karena alokasi anggaran penanggulangan bencana, dibebankan pada kemampuan keuangan daerah, sehingga ada kemungkinan, daerah yang rawan bencana, tetapi kemampuan keuangannya lemah, akan mengalokasikan dana penanggulangan bencana semampunya, sehingga dapat menimbulkan resiko bencana yang lebih besar lagi. Untuk itu pemerintah perlu mengambil kebijakan tertentu bagi wilayah dengan PAD yang kecil namun memiliki potensi bencana yang besar.


2. Implementasi Kebijakan penanggulangan bencana Nasional.


Dari pengamatan yang dilakukan terhadap implementasi sistem penanggulangan bencana pada tingkat nasional masih banyak ditemukan berbagai permasalahan yang cukup penting dan membutuhkan penanganan segera. Beberapa permasalahan tersebut antara lain (1) Peran Masyarakat terbatas dan belum melibatkan masyarakat secara aktif;(2) Pembagian Tanggung Jawab, sebagian besar masih berada dipemerintah pusat, pembagian pada tingkat Provinsi dan Kabupaten masih belum jelas; (3) Perencanaan Pembangunan belum menjadi perencanaan pembangunan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana; dan (4) Penyusunan tata ruang, masih belum mempertimbangkan kerentanan dan resiko bencana yang mungkin terjadi diberbagai wilayah.


Dalam UU No. 24 Tahun 2007 belum mengatur dengan jelas tentang penetapan kriteria kejadian yang dapat dikategorikan bencana. Kebijakan penanggulangan bencana juga belum mengatur secara jelas tentang status bencana (nasional, provinsi, dan kabupaten/kota) serta siapa yang berwenang yang dapat menetapkan status bencana. Masalah ini akan berdampak pada sistem, baik sistem penganggaran dan pendanaan kegiatan penanggulangan bencana dan penanggungjawab atas kegiatan penanggulangan bencana yang terjadi. Ketidak jelasan ini berpengaruh luas terhadap keterlibatan instansi-instansi lain yang dapat dilibatkan dan yang wajib melakukan tugas penanggulangan.


Secara umum pembentukan badan daerah penanggulangan bencana masih menghadapi beberapa kendala, karena masih terdapat dua pola yang digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan penanggulangan bencana (Rencana Penanggulangan Bencana/RPB dan Rencana Aksi Daerah/RAD), yaitu:


a) Beberapa daerah belum menindak lanjuti kebijakan PB, karena beberapa alasan antara lain :(1) Belum ada sosialisasi yang menyeluruh pada SKPD yang terkait; (2) Belum jelas siapa yang harus memulai; (3) Masih adanya tumpang tindih dengan peraturan-peraturan lain yang terkait ; (4) Ketidakjelasan aspek keuangan yang akan muncul bila kebijakan dikeluarkan; (5) Urgensi dan prioritas daerah yang berbeda sehingga kebijakan PB yang khusus dirasakan belum mendesak; dan (6) Kesulitan komunikasi dengan lembaga pengambil kebijakan (DPRD) untuk mengalokasikan dana guna membiayai program pengembangan kebijakan PB dan


b) Daerah-daerah yang sudah memiliki kebijakan PB pada umumnya dimotivasi oleh kondisi, dimana daerah pernah mengalami bencana alam yang besar. Meskipun daerah sudah memiliki kebijakan, namun belum semua daerah kebijakannya sesuai dengan UU No. 24/2007 , sebagian daerah masih menerapkan kebijakan sendiri sesuai dengan kebutuhan daerah.


Masih banyak aturan pelaksana penjabaran dari UU No. 24/2007 yang belum dibuat, sehingga menghambat implementasi berbagai sistem Penanggulangan Bencana yang diatur dalam Undang-undang. Suatu kegiatan yang melibatkan banyak institusi baik sebagai sebuah proses maupun dalam melaksanakan kerjasama, memerlukan panduan yang bersifat operasional, sehingga setiap institusi dapat melakukan tugas, fungsi dan kewenangannya tanpa ada keraguan, mengetahui apa yang harus dikoordinasikan, apa yang harus dikerjasamakan , memahami kapan pekerjaan dimulai dan kapan pekerjaan dapat dihentikan karena sasaran telah dicapai. Disamping itu, masih terdapat berbagai aturan yang saling tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada, misalnya dengan aturan tata ruang, aturan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, peraturan yang terkait dengan keuangan dan lain-lain. Masalah lain dalam tugas penanggulangan bencana ke dalam sistem perencanaan pembangunan adalah belum adanya integrasi kebijakan penanggulangan bencana dengan kebijakan lainnya, seperti kebijakan untuk masalah kemiskinan, otonomi daerah dan pengelolaan sumber daya alam.


Disamping kelemahan tersebut , masih terdapat beberapa permasalahan kelembagaan yang menghambat proses implementasi sistem penanggulangan bencana, antara lain : (1) Banyak instansi Kementrian dan Lembaga yang masih meragukan efktifitas pelaksanaan sistem komando yang terapkan ketika terjadi bencana , karena status badan pada level setingkat menteri; (2) Proses seleksi anggota Unsur Pengarah diperkirakan akan memakan waktu lama, sebagai akibat kualitas SDM yang terbatas; dan (3) kewenangan dalam mengintervensi kebijakan unsur Pelaksana serta peran unsur pengarah dengan lembaga teknis lainnya yang berada di luar BNPB. (4) Fungsi pelaksana dari BNPB cenderung berbenturan dengan fungsi kementrian teknis lainnya yang terkait dengan penanggulangan bencana; dan (5) Tata laksana koordinasi antara BNPB dan BPBD sulit dilaksanakan dan tidak efektif, karena BPBD merupakan perangkat daerah yang akan lebih respek kepada kepada Kepala Daerah yang juga menyediakan anggaran dari alokasi daerahnya masing-masing.


Dari berbagai upaya yang telah dilakukan baik dipusat maupun diderah, terdapat beberapa keberhasilan yang dicapai antara lain : (1) Tumbuhnya motivasi dan tangggung jawab bagi daerah dalam melaksanakan Penanggulangan Bencana dan mulai menyusun sejumlah rencana dan peraturan terkait dengan penanggulangan bencana tingkat daerah; (2) Pemerintah Daerah mulai menyadari tentang pentingnya Pengurangan Risiko Bencana , terutama dari sisi mitigasi , meskipun belum menjadi bahan sebagai perencanaan pembangunan; (3) dan Pemerintah Daerah telah memfokuskan diri untuk membentuk lembaga baru yang memiliki tanggung jawab khusus penanggulangan bencana.


4. Kesimpulan.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa sistem penanggulangan bencana yang saat ini dikembangkan baik di tingkat nasional maupun daerah sedang berada pada tahap transisi antara sistem yang berjalan dengan sistem baru seperti yang diamanatkan oleh UU No. 24 tahun 2007 yang menjadi tonggak sejarah perubahan pendekatan penanggulangan bencana. Perubahan yang terjadi dengan terbitnya UU No. 24 tahun 2007 adalah (1) Tugas penanggulangan bencana memiliki payung hukum yang memperkuat dan melindungi berbagai inisiatif yang terkait, yang pada waktu sebelumnya penanggulangan bencana adalah sebuah inisiatif dan program. Dengan terbitnya UU RI nomor 24 tahun 2007, penanggulangan bencana menjadi sebuah kewajiban yang menjadi misi organisasi; (2) Penanggulangan bencana sebagai sebuah pendekatan menyeluruh yang terintegrasi dalam proses pembangunan; dan (3) Sistem penanggulangan bencana berpengaruh dalam meletakkan satu sistem penanggulangan bencana baik untuk skala nasional maupun daerah, meskipun masih terdapat permasalahan yang muncul yang perlu perhatian untuk perbaikan.


Di dalam UU No. 24 tahun 2007 dinyatakan bahwa BPBD terdiri dari dua unsur, yaitu unsur pengarah dan unsur pelaksana. Unsur pengarah sendiri terdiri dari pemerintah terkait dan kalangan profesional. Tugas unsur ini menimbulkan keraguan terutama pada wewenang dan tanggung jawab, pembayaran gaji selama mengemban tugas karena tidak disertai dengan sistem pembayaran dan aturan kepegawaian yang jelas.


Implementasi unsur pengarah bermasalah dalam proses perekrutan yang diatur melalui proses fit and propper test di DPRD (Provinsi dan Kabupaten/Kota), karena meskipun unsur pengarah bukan SKPD, tetapi berada di bawah komando Kepala BPBD dan proses pemilihan personal yang terlibat di dalam sistem pemerintah menjadi wewenang kepala daerah. Karena proses ini melibatkan DPRD, maka akan berjalan lambat, berbiaya tinggi dan pengaruh lainnya.


Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) menyebabkan tidak optimalnya organisasi penanggulangan bencana di daerah, tidak banyak SDM yang memiliki kemampuan di bidang kebencanaan. Keterbatasan SDM akan menimbulkan masalah dengan tugas pembentukan BPBD. Jika seluruh provinsi membentuk BPBD, Kabupaten/Kota membentuk BPBD, maka SDM bidang kebencanaan yang dibutuhkan sangat banyak, untuk memenuhi organisasi yang dibentuk.


Pembentukan sebuah SKPD memiliki konsekuensi terhadap alokasi anggaran, demikian juga dengan BPBD. Diperkirakan anggaran yang harus dialokasikan kepada BPBD akan sangat besar, jika ditinjau dari sisi tugas pokok dan fungsi serta jumlah SDM yang mengawaki organisasi. Anggaran akan semakin besar dengan adanya unsur pengarah serta proses fit and propper test.


Masalah Defenisi dan Status Bencana masih membuat keraguan dan kerancuan dalam pemahamannya. Belum ada kesepakatan yang jelas dan terukur tentang apa yang disebut dengan bencana, belum ada kategori tentang status bencana, apakah bencana lokal, provinsi atau nasional. Disamping itu, defenisi bencana yang operasional akan dapat digunakan oleh aparat pemerintah dalam menggunakan angggaran, termasuk dalam kategori dana cadangan. Jika ukuran bencana tidak jelas maka pemerintah akan mengeluarkan dana secara tidak terkontrol, rawan manipulasi yang berpengaruh terhadap korban bencana.


Aturan Kerjasama Antar Daerah dalam Penanggulangan Bencana, masih belum jelas dan belum ada pedoman sebagai payung hukum, sistem perencanaan dan penganggaran yang diatur di dalam UU No. 24/2007 belum menjelaskan dan mengatur mekanisme kerjasama dalam penanggulangan bencana antar daerah.


5. Saran.


Memperhatikan berbagai permasalahan yang masih menjadi kendala dalam implementasi sistem penanggulangan bencana di Indonesia. Dari kesimpulan menunjukkan permasalahan sehingga diajukan beberapa pemikiran sebagai saran untuk mengatasi permasalahan tersebut.

a. Untuk mengatasi masalah wewenang dan tanggung jawab serta aturan pembayaran gaji selama mengemban tugas, pemerintah harus segera menyadari dan segera menyusun petunjuk pelaksanaan yang dapat dijadikan sebagai pedoman oleh unsur-unsur daerah dalam mempersiapkannya. Sebuah organisasi selalu mempunyai tujuan dan dengan tujuan ini maka ditetapkan misi organisasi. Oleh sebab itu dalam pembentukan organisasi, harus ditindak lanjuti dengan pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab masing-masing awak organisasi, agar menghilangkan keraguan dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Setiap awak organisasi mempunyai tugas yang diuraikan secara jelas, sehingga selain memudahkan awak dalam melaksanakan tugas, juga sebagai alat kendali dan pengawasan serta menentukan besarnya anggaran dalam setiap fungsi. Disamping pembagian tugas, juga perlu disusun prosedur dan mekanisme kerja organisasi, agar setiap awak organisasi memahami kepada siapa bertanggungjawab, dengan siapa melakukan koordinasi dan bidang apa saja yang dikoordinasikan, dengan siapa harus melakukan kerjasama dan tugas apa saja yang di kerjasamakan.


b. Implementasi unsur pengarah bermasalah dalam proses perekrutan yang diatur melalui proses fit and propper test di DPRD (Provinsi dan Kabupaten/Kota), karena meskipun unsur pengarah bukan SKPD, tetapi berada di bawah komando Kepala BPBD dan proses pemilihan personal yang terlibat di dalam sistem pemerintah menjadi wewenang kepala daerah. Karena proses ini melibatkan DPRD, maka akan berjalan lambat, berbiaya tinggi dan pengaruh lainnya. Melihat permasalahan yang timbul akibat aturan yang mengikat seperti ini, maka disarankan untuk mengkaji ulang tentang urgensi atas perlakuan proses ini, karena tugas ini meskipun bukan tugas profesi, namun membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan khusus, dan bila dikaitkan dengan kondisi wilayah, maka tugas ini hanya dapat dilakukan oleh personel yang memang memiliki kemampuan dan ketrampilan dalam melaksanakan tugasnya. Tugas penanggulangan bencana bukan merupakan tugas yang diminati orang, karena disamping faktor penguasaan permasalahan, juga menimbulkan resiko yang tidak ringan. Seorang yang tidak didasari rasa sosial yang tinggi, yang ingin mengabdi bagi kepentingan rakyat, cukup sulit mendapatkan SDM untuk mengisi unsur ini, apalagi ditambah dengan proses yang tidak rasional, banyak orang akan menghindar melakukan tugas ini. Fit and proper test juga terasa aneh karena unsur pengarah ini salah satunya adalah pejabat daerah yang ditunjuk oleh kepala daerah, yang tentu saja sudah dipertimbangkan sesuai kebutuhan organisasi daerah.


c. Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) menyebabkan tidak optimalnya organisasi penanggulangan bencana di daerah, tidak banyak SDM yang memiliki kemampuan di bidang kebencanaan. Keterbatasan SDM akan menimbulkan masalah dengan tugas pembentukan BPBD. Jika seluruh provinsi membentuk BPBD, Kabupaten/Kota membentuk BPBD, maka SDM bidang kebencanaan yang dibutuhkan sangat banyak, untuk memenuhi organisasi yang dibentuk.

Penyediaan SDM yang memiliki kemampuan dibidang kebencanaan yang sulit, sebaiknya diantisipasi dengan penyelenggaraan pendidikan dan latihan yang terstruktur dan menjadikannya sebagai sebuah profesi baru. (*Saat ini UNHAN telah membuka Prodi baru yaitu : Management Disaster, yang memperdalam semua aspek kebencanaan, termasuk bila menghadapi bencana perang. )


Dinegara-negara maju, management disaster menjadi salah satu cabang khusus yang dipelajari sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan dan menghasilkan tenaga ahli dalam strategi serta operasi penanggulangan bencana. Karena manajemen bencana merupakan tugas yang kompleks, bukan hanya sekedar bagaimana menyelamatkan jiwa dan harta, tetapi menyangkut pengelolaan berbagai sumberdaya yang digunakan dan dibutuhkan dalam penanggulangan bencana. Meskipun untuk mengawali penyediaan SDM cukup dengan dilaksanakan pendidikan dan latihan, pada saatnya perlu dikembangkan untuk diakomodasi sebagai disiplin ilmu tersendiri pada perguruan tinggi.


d. Pembentukan sebuah SKPD memiliki konsekuensi terhadap alokasi anggaran, demikian juga dengan BPBD. Diperkirakan anggaran yang harus dialokasikan kepada BPBD akan sangat besar, jika ditinjau dari sisi tugas pokok dan fungsi serta jumlah SDM yang mengawaki organisasi. Kebutuhan anggaran untuk membiayai pembentukan organisasi dan operasionalnya akan dirasakan besar bila organisasi tersebut tidak menunjukkan kinerja yang bermanfaat bagi kepentingan pembangunan. Kesulitan anggaran sebenarnya dirasakan bagi daerah yang memiliki kerawanan bencana yang besar, namun kemampuan keuangan daerah yang tidak mendukung, sehingga diperlukan pemikiran yang komprehensif untuk mengatasi kondisi ini. Oleh sebab itu akan menjadi lebih efektif apabila rencana pembangunan nasional telah memasukkan rencana aksi penanggulangan bencana, yang dalam hal ini dapat memberi prioritas bantuan kepada daerah yang rawan bencana namun kurang sumber anggaran Untuk mengurangi beban anggaran yang besar didaerah, disarankan agar daerah lebih memfokuskan kepada penyusunan Protap- protap bencana, yang disosialisasi secara bersungguh-sungguh dan disepakati oleh semua fihak yang terlibat, sehingga badan daerah penanggulangan bencana dapat dibentuk sebagai Staf yang tidak terlalu besar, sesuai dengan kebutuhan daerah. Karena pada kenyataannya, pemikiran daerah masih menganggap bahwa pola lama yang diterapkan lebih efektif karena lingkungan yang relatif kecil dan koordinasi dapat berlangsug efektif. Karena pembentukan ini menjadi kewenangan daerah yang dalam hal ini sudah dilindungi oleh otonomi daerah, maka intervensi BNPB atas penyusunan di daerah tidak dapat dilakukan, karena BPBD adalah badan daerah, yang berada dibawah kewenangan Kepala daerah.


e. Masalah Defenisi dan Status Bencana masih membuat keraguan dan kerancuan dalam pemahamannya. Belum ada kesepakatan yang jelas dan terukur tentang apa yang disebut dengan bencana, belum ada kategori tentang status bencana, apakah bencana lokal, provinsi atau nasional. Disamping itu, definisi bencana yang operasional akan dapat digunakan oleh aparat pemerintah dalam menggunakan angggaran, termasuk dalam kategori dana cadangan. Jika ukuran bencana tidak jelas maka pemerintah akan mengeluarkan dana secara tidak terkontrol, rawan manipulasi yang berpengaruh terhadap korban bencana. Menghadapi keadaan ini, perlu dilakukan sosialisasi yang lebih aktif dan terarah, cukup sulit menyusun kriteria status bencana, namun melalui kajian-kajian yang mendalam, penentuan status bencana, akan dapat ditetapkan. Salah satu yang dapat dipertimbangkan adalah pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh suatu kejadian. Penentuan status bencana disarankan dengan penghitungan dan penilaian berdasarkan jumlah korban jiwa, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan wilayah yang terkena bencana, dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan, dan kemampuan pemerintah daerah dalam menangani bencana ditinjau dari kemampuan SDM, anggaran dan teknologi yang tersedia. Namun demikian agar memiliki payung hukum yang kuat, disarankan penetapan status dan tingkat bencana, diterbitkan peraturan presiden. karena apabila penentuan ini ditetapkan oleh BNPB, akan rawan terhadap penyalahgunaan anggaran.



Tidak ada komentar: