PENGARUH ANGGARAN DAN KESEJAHTERAAN
DALAM MENCAPAI TENTARA PROFESIONAL
1. Pendahuluan. Kepentingan utama pembentukan sebuah negara adalah mempertahankan dan menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah serta melindungi keselamatan bangsa dari ancaman yang akan merebut kedaulatan negara dan wilayah. Karena kepentingan tersebut, maka negara membentuk organisasi angkatan bersenjata dengan tugas yang jelas, sebagai alat pertahanan yang berkewajiban untuk mempertahankan dan menjaga kedalatan negara serta melindungi keselamatan bangsa dari semua bentuk ancaman. Agar tentara mampu melaksanakan tugas tersebut maka organisasi tentara harus disiplin, setia, terdidik dan terlatih.
Profesionalisme militer adalah sebuah tuntutan, yang harus dapat dicapai oleh setiap organisasi Militer, sebagai salah satu persyaratan agar tentara mampu melaksanakan tugasnya sebagai kekuatan pertahanan negara. Profesional, merupakan gabungan antara keahlian dan tanggungjawab. Keahlian dapat diperoleh dari pendidikan dan latihan, sedangkan tanggungjawab dibentuk dari sikap untuk melaksanakan tugas yang dibebenkan kepada organisasi, dengan tidak melakukan penyimpangan dari ketentuan dan peraturan yang berlaku yang didukung oleh kedisiplinan. Untuk menjadikan tentara yang profesional membutuhkan pendidikan dan latihan yang sesuai dengan kepentingannya, yang berarti lembaga pendidikan dan latihan harus dilengkapi dengan fasilitas dalam bentuk komponen-komponen pendidikan agar pengetahuan dan ketrampilan yang ditansformasikan kepada prajurit dapat terlaksana secara optimal. Demikian juga halnya dengan latihan, membutuhkan fasilitas, sarana, prasarana yang cukup serta ketersediaan doktrin agar latihan dapat mendukung tercapainya keahlian yang dibutuhkan searah dengan tugas yang akan dihadapi oleh setiap prajurit dan setiap jenis organisasi.
Untuk dapat melaksanakan latihan yang baik membutuhkan kesungguhan dan konsentrasi dari setiap peserta latihan baik pelatih, pendukung maupun pelaku latihan. Penyelanggara dan peserta latihan harus dapat memfokuskan kepada program latihan yang ditetapkan, tanpa membagi perhatian kepada permasalahan lalin diluar kegiatan latihan. Agar konsentrasi dan perhatian dapat tertuju seutuhnya kepada program dan kegiatan, tidak boleh ada permasalahan lain yang belum terselesaikan dan belum terpenuhi, baik perlengkapan maupun kebutuhan bagi keluarganya, yang hanya dapat terlaksana apabila kesejahteraan prajurit telah dicukupi. Beberapa tinjauan terhadap upaya mewujudkan tentara profesional, disampaikan beberapa elemen pengaruh ditinjau dari kesejahteraan, Anggaran dan doktrin.
2. Data dan Fakta.
a. Definisi Profesional menurut kebijakan negara. Berdasarkan amanat UU RI, pada pasal 2 (d) memyebutkan “ Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi”.
c. Hubungan sipil militer di Indonesia telah menciptakan berbagai pembatasan terhadap militer terutama dibidang Anggaran, Peran, Operasional dan postur. Sementara sebagai alat pertahanan negara tentara dituntut untuk senantiasa dalam kondisi siap siaga, untuk menghadapi segala kemungkinan yang mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa.
d. Buku stratifikasi Doktrin Angkatan darat, mengatur bahwa Doktrin terdiri dari doktrin strategis yaitu KEP, Doktrin Operasional yaitu Bujuk Induk, Doktrin Taktis yaitu yang disusun dalam buku petunjuk pembinaan, administrasi atau operasi sesuai fungsinya dan strata terakhir adalah doktrin tehnis yang disusun dalam buku petunjuk tehnis.
3. Analisa dan evaluasi.
a. Profesional ditinjau dari kesejahteraan. Dengan mendalami kebijakan negara yang dituangkan dalam Undang-undang TNI dan membandingkan dengan implementasinya, masih terdapat elemen-elemen kesejahteraan yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah. Komponen kesejahteraan prajurit yang dimaksud dalam Undang-undang tersebut masih jauh dari jangkauan. Beberapa indikasi yang dapat disampaikan adalah (1) asuransi jiwa dan kesehatan bagi prajurit masih dibayar dari gaji prajurit, sedangkan asuransi bagi prajurit yang melaksanakan tugas operasi belum diterapkan, kalaupun ada asuransi yang diikuti prajurit selama melaksanakan tugas operasi, merupakan inisiatif para komandan satuan dengan persetujuan seluruh anggota satuan. (2) Biaya perawatan kesehatan masih mengutip iuran dari gaji prajurit yang pelayanannyapun harus di instansi kesehatan tentara. Bila disekitar tempat dinas prajurit tidak terdapat instalasi kesehatan militer, pelayanan kesehatan tidak dapat dilayani oleh istalasi kesehatan lain dalam pengertian, prajurit harus mengeluarkan biaya pengobatan dari penghasilannya. Beberapa kasus yang terjadi, rumah sakit tentara tidak dapat memenuhi beberapa jenis obat, dan membebankan biaya pengadaan obat kepada prajurit. (3) Perumahan prajurit belum terpenuhi, sehingga prajurit masih harus mengeluarkan biaya perumahan dari gaji masing-masing dan penghasilan prajurit belum menempatkan keluarga prajurit pada level layak hidup. Sementara setiap bulan prajurit sudah menabung untuk kepentingan perumahan, dalam bentuk tabungan wajib perumahan, yang dalam prakteknya pengajuan kepemilikan rumah prajurit melalui badan pengelola tabungan wajib perumahan, masih bersifat terbatas dan hanya berlaku pada wilayah tertentu. Bahkan juga diterapkan pembatasan usia prajurit untuk dapat diproses pengajuan kepemilikan rumahnya, karena pertimbangan tenggat waktu pengajuan sampai usia pensiun. (4) Tunjangan hari tua. Pemerintah belum memberlakukan tunjangan hari tua bagi prajurit yang mengakhiri dinas karena usia pensiun. Pemerintah hanya memberikan tunjangan pensiun bulanan kepada pensiunan yang nilainya sangat tidak manusiawi. Sebagai contoh ekstrim, seorang pensiunan Mayor Jenderal, hanya menerima pensiun setiap bulan sebesar Rp. 2.682.000,- sebuah angka yang tidak memungkinkan kehidupan keluarga pensiunan dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. (5) Sebagian prajurit, sulit memperoleh perumahan dinas, untuk menampung keluarganya, mereka memanfaatkan rumah famili untuk menumpang, namun bila tidak ada famili yang dapat menampung, mereka harus menyewa rumah atau hanya sekedar kamar, sesuai dengan kemampuan keuangan masing-masing. Akibat keterbatasan perumahan prajurit ini, berimbas kepada kesiapsiagaan yang sulit dikontrol, karena tempat tinggal prajurit yang tersebar, bahkan memancing munculnya sikap kesetiaan prajurit yang mendua. Sikap mendua dalam hal ini dapat dicontohkan selain kewajibannya melaksanakan tugas kedinasan, beberapa prajurit memanfaatkan waktu diluar jam dinasnya untuk mencari tambahan nafkah bagi keluarganya. Sehingga selain setia kepada tugas pokoknya juga setia kepada “tugas tambahan yang pokok” karena apabila tugas kedua tidak dilakukan, maka keluarganya akan menderita, kurang makan, tidak cukup biaya pendidikan, tidak cukup untuk rekreasi dan tidak dapat menabung untuk menghadapi situasi kritis.
Profesionalisme militer masih belum dapat dicapai karena keinginan untuk mencapai profesional, akan tercapai apabila elemen-elemen profesionalisme telah dipenuhi pemerintah dan konsentrasi prajurit sepenuhnya dapat tertuju kepada ketrampilan yang harus dikuasai, dilengkapi sarana dan prasarananya dengan agenda yang teratur dan diawasi secara ketat, maka profesionalisme dapat tercapai. Karena sesuai yang diamanatkan Undang-undang RI nomor 34 tahun 2004 tahun 2004 tentang TNI, salah satu elemen profesional bila TNI dijamin kesejahteraannya, yang dapat diartikan bahwa semua bentuk “kesejahteraan” menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya, tanpa syarat, sesuai dengan peraturan pemerintah. Namun demikian, negara akan dianggap menghindar dari kewajiban ini apabila pemerintah tidak segera menerbitkan peraturan pemerintah , karena peraturan ini yang akan memandu bagaimana pola yang ingin diterapkan oleh pemerintah untuk memenuhi kesejahteraan prajuritnya.
Sebagai Negara yang baru terlepas dari sistem pemerintahan otoriter, timbul beberapa permasalahan yang menjadi beban dalam penerapan pola hubungan sipil mliter. Banyak negara yang baru menerapkan sistem pemerintahan demokrasi, merupakan kelanjutan dari era sebelumnya, dimana politik pemerintah menerapkan sistem otoriter yang alat penekan biasanya adalah Militer. Posisi militer pada era tersebut harus melaksanakan kebijakan pemerintah, namun dengan berjalannya waktu menjadikan tentara berubah menjadi alat pemerintah (kekuasaan) dan bukan sebagai alat negara.
Perubahan sistem yang berlangsung secara cepat, menyebabkan konsep hubungan sipil militer di Indonesia dimanfaatkan sebagai peluang oleh sipil yang telah mengambil posisi untuk menyusun perubahan, sebagai upaya “reformasi” seperti yang diinginkan oleh rakyat. Namun pada masa trasisi, upaya yang dirancang untuk diarahkan kepada perbaikan struktur dan kultur, telah dimanfaatkan sebagai peluang untuk melakukan pembatasan-pembatasan terhadap militer, melalui berbagai regulasi yang tanpa disadari ternyata menciptakan kondisi yang sulit untuk dikendalikan dan sullit dibawa kembali kepada arah yang diinginkan.
Pembatasan terhadap militer, tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir disetiap negara yang baru terlepas dari era otoritarian. Pembatasan yang dierapkan oleh sipil pemegang supremasi antara lain Pembatasan Anggaran (Budget), postur (Size), Peran (Role) dan Operasi (Mission), yang dari semua itu mengakibatkan militer sulit mencapai level profesional dan menjauhkan militer dari rakyat yang berarti kemanunggalan TNI Rakyat sulit diwujudkan. Padahal Doktrin pertahanan negara mempersyaratkan kemanunggalan TNI Rakyat sebagai salah satu unsur pokok bagi terselenggaranya sistem pertahanan rakyat semesta, sebagai sistem pertahanan yang telah disepakati bersama.
Dengan pembatasan anggaran, menyebabkan fasilitas pendidikan dan latihan bagi militer dalam bentuk sarana dan prasarana tidak dapat terpenuhi, sehingga pelaksanaan pendidikan dan latihan hanya berlangsung seadanya, bahkan ada komentar bahwa pendidikan militer masih berlangsung seperti jaman Mojopahit, dimana peserta didik menerima materi pelajaran dibawah pohon yang tidak begitu rindang. Sehingga transfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik menjadi terganggu, hal ini terjadi karena fasilitas kelas tidak mencukupi dan kalaupun ada, sudah tinggal kerangkanya saja. Keterbatasan Alins dan Alongins bagi peserta didik, menyebabkan latihan menggunakan alongins secara bergantian, yang berakibat konsentrasi latihan terganggu karena proses penyiapan alongins yang membutuhkan waktu cukup lama dan masih banyak keterbatasan lain dilembaga pendidikan, yang rata-rata rasio kebutuhan minimal alat instruksi belum terpenuhi. Kondisi serupa juga terjadi pada satuan operasional, fasilitas latihan sangat terbatas yang menyebabkan ketrampilan prajurit sulit mencapai sasaran yang dibutuhkan.
Pembatasan Peran dan operasional militer, menyebabkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang telah diterima selama pendidikan dan latihan tidak dapat diterapkan pada keadaan nyata, sehingga prajurit belum yakin benar apakah kemampuan dan ketrampilan yang diterima memang benar dapat mendukung tugas pokoknya, yang berarti menjauh dari profesional.Selain itu, situasi ini juga menyebabkan hubungan militer dengan lingkungannya menjadi sangat terbatas, komunikasi dengan rakyat tidak dapat dilakukan secara terencana, yang mengakibatkan dukungan terhadap doktrin pertahanan negara menjadi rendah, karena doktrin mensyaratkan terjalinnya kemanunggalan TNI dan Rakyat agar Sistem pertahanan keamanan semesta dapat terwujud. Sedangkan dengan menjauhkan militer dengan rakyat akan menghambat proses perwujudan kemanunggalan TNI –Rakyat.
Pembatasan postur, menyebabkan peralatan militer juga menjadi terbatas, kesiapsiagaan militer kurang optimal, pengawasan terhadap wilayah negara menjadi terbatas dan memunculkan wilayah yang tidak dapat dikendalikan oleh pemerintah (Ungovern Places), baik didarat, laut maupun udara yang menyebabkan munculnya kegiatan yang mengarah kepada separatisme, penyelundupan, pencurian kekayaan alam, dan pelanggaran wilayah yang semuanya sulit dicegah, karena sumberdaya yang diperlukan untuk melakukan tugas tersebut tidak sebanding dengan luas wilayah. Saat sekarang, militer hanya mengenal peralatan lama yang dimiliki yang dibeberapa negara sudah tidak digunakan lagi. Sementara teknologi militer sudah berkembang dengan pesat yang belum diikuti oleh militer Indonesia karena keterbatasan anggaran.
Kebijakan negara yang menetapkan konsep Zero Growth kekuatan personel Tentara, menumbuhkan gagasan bahwa satuan operasional membutuhkan mekanisasi, agar dengan kekuatan kecil, didukung dengan kemampuan manuver yang cepat dan perlindungan lapis baja, memberi peluang kepada organisasi tentara untuk mengembangkan organisasi dengan dislokasi sesuai perkiraan ancaman, sehingga dapat memperluas jangkauan pemantauan dan penguasaan wilayah. Namun dengan kondisi dukungan anggaran yang terbatas, peluang inisementara belum dapat diwujudkan. Bila kondisi tersebut berlangsung dalam waktu yang lama, akan berakibat menurunnya kesiapsiagaan militer, yang memancing munculnya berbagai kemungkinan ancaman baik dari dalam maupun luar negara.
Perubahan yang terjadi terhadap pengelolaan pertahanan dan keamanan yang secara hitam putih dipisahkan, berpengaruh terhadap perubahan doktrin pada semua tingkatan, yang harus disesuaikan dengan perkembangan sosial budaya. Perubahan doktrin tidak dapat dengan serta merta dapat dilakukan secara singkat, perlu waktu yang cukup panjang, mengingat proses dan prosedur yang harus dilalui relatif panjang dan Militer berusaha menghindari kesalahan yang akan menjadi beban dimasa depan.
Angkatan Darat, untuk menjadikan Pembinaan teritorial sebagai fungsi utama, membutuhkan waktu paling tidak 4 tahun. Sehingga selama 4 tahun tersebut semua unsur angkatan darat berada pada posisi keraguan, untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan pembinaan teritorial. Pembinaan kemampuan personel dan satuan juga terhenti karena semua menjadi tidak jelas, instruksinya juga tidak jelas. Bahkan komunikasi sosial yang era sebelumnya dapat berlangsung normal, menjadi tidak dilakukan sama-sekali, hubungan Militer dengan masyarakat merenggang, dengan pemerintah daerah tidak dapat berlangsung, yang semuanya sebagai akibat dari proses untuk menemukan formulasi yang tepat dan peran pembinaan teritorial dalam pemberdayaan wilayah pertahanan.
Disisi lain, kondisi profesionalisme militer masih menghadapi ketidak dewasaan Politisi yang memojokkan Militer dan menganggap mliter sebagai pelaku pelanggaran dimasa lalu. Padahal Militer di era sebelumnya pada dasarnya hanya melaksanakan kebijakan pemerintah, dimana mereka ditempatkan dan diberi tugas maka tugas itulah yang dilakukan, militer patuh kepada kebijakan pemerintah, sebagai bentuk implementasi hubungan sipil militer yang sebenarnya. Meskipun disinyalir terdapat sikap dan tindakan yang berlebihan yang keluar dari koridor yang ditetapkan pemerintah, namun hal tersebut bersifat kasustis, yang dilakukan aktor bukan institusi. Disadari bahwa ternyata sikap Militer tersebut ternyata tidak pada rute yang tepat, karena pimpinan militer juga manusia, yang mempunyai ambisi, sehingga pada saat itu institusi militer dilibatkan langsung dalam kehidupan sosial politik. Perlu diingat bahwa Militer melaksanakan “Sumpah Prajurit” yang pada sumpah ke 3 menyatakan “Taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan”, sedangkan sapta marga pada marga ke 5 menyatakan “ Kami prajurit tentara Nasional Indonesia ( pada waktu itu masih Angkatan bersenjata Republlik Indonesia), memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pimpinan, serta menjunjung tinggi sikap dan kehormatan prajurit ” Sebagai sebuah organisasi yang disiplin, maka tidak mungkin ada pengingkaran atas perintah yang diterima dari atasan atau pimpinan dan kondisi tersebut berlaku secara bertingkat sampai pada strata paling rendah, meskipun disadari bahwa pelaksanaan tugasnya hanya mendukung ambisi para pimpinan militer saat itu.
Tataran doktrin yang dikenal secara internasional mulai tataran Strategis, sampai tataran taktis, yang berarti penyusunan doktrin wajib dimulai dari strata Strategis, karena doktrin dibawahnya harus mempedomani doktrin yang lebih tinggi. Apabila dilihat dari tugas yang diterima TNI sesuai amanat UU RI nomor 34 tahun 2004, yaitu (1) Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a. Operasi militer untuk perang.b. Operasi militer selain perang, yaitu terdiri dari 13 tugas, dimana ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusanpolitik negara.
Dari pemahaman tersebut, untuk dapat melaksanakan tugas, dibutuhkan 14 doktrin tingkat Operasional, yang selanjutnya akan menjadi pedoman bagi penyusunan doktrin pada strata dibawahnya, yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing tugas. Bisa saja satu doktrin operasional hanya membutuhkan 1 atau 2 doktrin pada tingkat taktis, atau mungkin juga lebih dari 10 doktrin ditingkat taktis. Setelah diterbitkan doktrin pada tingkat taktis, selanjutnya perlu disusun doktrin pada tingkat tehnis, yang akan menjadi pedoman bagi setiap unit organisasi dalam melaksanakan tugasnya.
Sebagai contoh dalam tugas pemberdayaan wilayah pertahanan, TNI menerbitkan Buku petunjuk Induk tentang Pemberdayaan wilayah pertahanan ( dapat dianggap sebagai doktrin operasional di Tingkat TNI) yang didalamnya menentukan tugas yang harus dilaksanakan adalah pembinaan SDM, SDA/B, Sarana dan prasarana, Nilai-nilai dan anggaran. Dengan demikian, paling tidak harus disusun doktrin taktis tentang pembinaan SDM, SDA, SDB, Sarpras, Tata nilai, Sarana-prasarana dan anggaran. Dari Doktrin taktis pembinaan SDM, setidaknya akan muncul doktrin tehnis yang mengatur secara detil bagaimana melakukan pembinaan SDM yang disiapkan sebagai kekuatan cadangan dan bagaimana melakukan pembinaan terhadap SDM yang disiapkan sebagai kekuatan pendukung.
Mabes TNI, untuk menerbitkan buku petunjuk Induk Pemberdayaan Wilayah Pertahanan, butuh waktu 5 tahun semenjak UU 34 diterbitkan, sementara petunjuk ini akan menjadi pedoman bagi penyusunan petunjuk pembinaan, petunjuk administrasi dan petunjuk ditingkat operasional, yang tentu saja butuh waktu yang cukup lama. Dengan melihat kondisi ini maka sebenarnya TNI belum dapat melaksanakan dalam membantu tugas pemerintahan di daerah dan dalam memberdayakan wilayah pertahanan, karena sampai saat sekarang baru sampai pada petunjuk induk, yang masih perlu penjabaran 2 tingkat kebawah agar secara tehnis dapat dilaksanakan oleh satuan operasional di daerah.
Angkatan Darat telah menyusun 11 buku petunjuk pelaksanaan yang berkaitan dengan tugas OMSP (dari 14 tugas TNI sebagai amanat UU 34 tahun 2004 tentang TNI), agar tugas–tugas yang menjadi tanggungjawab TNI dapat dilaksanakan.Dengan terbitnya petunjuk pelaksanaan ini, akan digunakan oleh organisasi militer, agar tidak menimbulkan keraguan dalam pelaksanaanya dan mencegah terjadinya pelanggaran atau kesalahan prosedur.
Dengan mengasumsikan bahwa buku petunjuk tentang pelaksanaan tugas pokok TNI telah diterbitkan, ternyata juga masih terkendala dengan ketentuan undang-undang yang menyatakan bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara”, yang berarti semua petunjuk yang diterbitkan oleh TNI maupun oleh Angkatan, meskipun telah dikuasai oleh semua satuan dan prajurit, belum dapat diterapkan untuk melaksanakan tugas, sebelum pemerintah menyatakan tugas tersebut dapat dilaksanakansebagai sebuah keputusan politik Negara.
Perubahan dalam kebijakan politik nasional masih belum berpengaruh lansung pada penerapan konsep pengembangan dan peningkatan TNI untuk menjadi organisasi yang modern, karena pembatasan-pembatasan yang diterapkan oleh sipil sebagai pemegang supremasi. Perubahan kultur belum dapat terlaksana dengan baik dan profesionalisme militer semakin membutuhkan waktu dan penyesuaian dengan perkembangan politik negara dan semakin tertinggal karena institusi lain diluar TNI yang sudah melangkah maju beberapa langkah. Kultur prajurit akan terbentuk sejalan dengan keberadaan doktrin, karena doktrin sebagai ajaran yang menjadi pedoman tindakan prajurit.
Dari beberapa kondisi tersebut menunjukkan bahwa dengan perubahan yang terjadi pada politik nasional, ternyata telah meruntuhkan berbagai struktur yang dibangun dalam waktu yang cukup lama, yang memerlukan penyesuaian dengan perubahan politik nasional.
a. Kesimpulan. Profesionalisme militer masih membutuhkan waktu dan proses, baik yang dilakukan oleh organisasi tentara, maupun yang menjadi kewajiban negara, karena kesejahteraan yang menjadi salah satu elemen profesional belum dipenuhi pemerintah, fasilitas pendidikan dan latihan masih belum terpenuhi dan belum mempunyai kelengkapan doktrin sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas, sehingga berpengaruh kepada rendahnya kesiapsiagaan militer.
1) Angkatan darat perlu mengingatkan pemerintah agar segera menepati amanat undang-undang, utamanya dalam memenuhi kesejahteraan prajurit, sebagai bukti bahwa kebijakan yang diterbitkan dipertanggungjawabkan.
2) Angkatan Darat perlu mempertimbangkan untuk memenuhi kebutuhan standar komponen pendidikan di lemdik dan komponen latihan disatuan operasional dalam skala prioritas, agar ketrampilan dan kemahiran sebagai bagian dari profesional dapat tercapai.
3) Buku petunjuk pelaksanaan tugas OMSP yang telah disusun perlu dipertimbangkan untuk menjadi bagian dari doktrin, dengan memasukkan tugas OMSP kedalam fungsi-fungsi yang ada dalam Doktrin KEP dan menyusun sampai pada strata tehnis, agar dapat menjadi panduan bagaimana satuan / organisasi militer melakukan tugas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar