Sabtu, 03 November 2012

Peran Militer dan Diplomasi dalam nenegakkan Kedaulatan Negara


PERJUANGAN  MENGEMBALIKAN KEDAULATAN NEGARA 

Oleh : Juanda.Sy, M.Si (Han)

Pendahuluan. Suatu rangkaian sejarah tidak utuh bila masih terdapat satu atau beberapa bagian yang belum dapat ditemukan. Sejarah dari waktu kewaktu semakin luas cakupannya dengan berbagai temuan dan berbagai tambahan data yang dikumpulknan oleh para penyusun sejarah. Beberapa bagian sejarah yang cukup penting untuk dijadikan bahan tambahan dan sekaligus menjadi bahan kajian adalah Agresi Belanda terhadap Indonesia pada 19 Desember 1948 yang dalam penuturan sejarah disebut sebagai Agressi II.
Pada saat itu antara Indonesia dengan Belanda masih terikat dengan perjanjian Renville, yang berisikan tentang gencatan senjata antara dua negara yang sedang konflik. Indonesia telah merdeka pada 17 Agustus 1945, namun Belanda sebagai fihak yang pernah menjadi penjajah Indonesia masih belum mengakui kemerdekaan Indonesia , sehingga pada saat Jepang kalah perang, Belanda sebagai bagian dari pasukan sekutu , mengirimkan pasukannya ke Indonesia dengan seolah –olah sebagai bagian pasukan sekutu yang pada waktu itu dipimpin Inggris mendarat di Indonesia. Kedatangan belanda waktu itu langsung mengadakan serbuan terhadap Indonesia dan merebut wilayah Indonesia dan mengubah Indonesia menjadi negara serikat. Wilayah Republik Indonesia pada saat adalah Karesidenan Yogjakarta dan Solo (di Jawa Tengah), Aceh (di Sumatera), Jawa timur (kecuali Madura). Wilayah lain telah dijadikan sebagai negara bagian (federal) yang dikuasai oleh Belanda.

Dewan keamanan PBB mengeluarkan mandat untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda sesuai hasil perjanjian Renville, dan dibentuk sebuah komisi Good offices commitee, yang terdiri dari perwakilan 3 negara untuk tindak lanjut penyelesaian konflik antar negara Indonesia dan Belanda. Masing-masing negara yang bertikai menunjuk sebuah negara untuk mewaliki kepentingannya, Indonesia memilih Australia , Belanda menunjuk Belgia dan kedua negara tersebut meminta Amerika menjadi anggota komite, sebagai negara yang bersikap netral. Perundingan damai antara Belanda dan Indonesia dilaksanakan di dua negara secara bergiliran. Pada saat itu perundingan sedang berlangsung di Indonesia dan secara tepatnya perundingan dilaksanakan di Kaliurang.
Dalam kondisi seperti itu, Indonesia tidak memperhitungkan bahwa Belanda akan menyerang Indonesia, karena pada saat itu antara kedua negara masih terikat perjanjian gencatan senjata dan komite sedang melaksanakan sidang di Yogjakarta, meskipun berdasarkan pengalaman sebelumnya, Indonesia tetap waspada terhadap Belanda yang mungkin saja akan melakukan tindakan curang seperti yang pernah dilakukan pada tahun 1947 pada Agresi militer Belanda I. Saat itu tentara KNIL dipimpin oleh Jenderal Simon Spoor mempertimbangkan bahwa untuk meruntuhkan Republik Indonesia , harus dilakukan dengan kekuatan besar dan tepat pada jantung kekuatan, agar dengan sekali pukulan telak, Indonesia akan takluk dan diplomasi lebih lanjut menjadi lebih mudah. Menurut catatan, persiapan penyerangan Belanda ke Yojakarta menggunakan kekuatan udara :

Lapangan Udara Kalijati Bogor, terdiri pesawat Lockhead L-12 dan 6 pesawat Harvard; di Cililitan, 4 pembom Mitchell B-25, 2 pesawat Mustang P-51 ; Andir Bandung, 16 Pesawat Dakota C-47, Pembom Mitchell B-25 dan 4 pesawat intai Piper Cub. Khusus di Semarang, dilapangan Kallibanteng, 20 pesawat Dakota, pesawat Lockhead L-12, 10 pesawat pemburu Spitfire, 5 Bomber B-25 dan pesawat Auster. Julius Pour (2009; 4 ). Operasi penyerangan Ke Yogja diberi sandi Kraai, rincian kegiatan operasi, diawali dengan serbuan udara ke Maguwo, dilanjutkan dengan penerjunan 2 kompi pasukan penerjun dari pasukan payung baret merah untuk merebut dan mengamankan Lapangan udara Maguwo. Setelah Maguwo dinyatakan aman, dilanjutkan dengan pendaratan pasukan komando Baret hijau. Maguwo digunakan sebagai pancangan kaki sebelum serangan untuk merebut Yogjakarta. Serangan ke Jogya dilakukan dengan menggunakan 2 poros dan dengan rencana tersebut diperkirakan oleh Jenderal Spoor, Republik Indonesia akan berantakan , operasi dirancang, sebelum senja Yogjakarta sudah direbut dan dikuasai Belanda.
Militer dibawah pimpinan Jendral Sudirman, ternyata telah menyiapkan strategi untuk menghadapi kemungkinan serbuan Belanda dengan menyiapkan berbagai alternatif, mulai dari reorganisasi pasukan, pembagian wilayah tanggung jawab dan pembagian tugas yang tersusun secara terperinci. Maskipun terjadi dinamika disana-sini, namun secara umum persiapan dan kesiapan militer pada masa itu tergolong cukup memadai, sebagai rencana menghadapi kontijensi negara.
Dalam kondisi pimpinan negara dalam pengasingan, relatif pemerintah tidak berfungsi secara normal, namun dengan semangat perjuangan untuk mempertahankan negara, pemerintahan darurat tetap berlangsung secara tersembunyi namun efektif. Pemerintah darurat bersama TNI menyusun strategi untuk merebut kembali kedaulatan negara, melalui berbagai aksi untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia masih eksis, agar dapat mempengaruhi hasil atas diplomasi internasional yang terus berlangsung.

Situasi pemerintahan. Perjanjian Renville sebagai tindak lanjut atas Agresi Belanda I tahun 1946, ditanda tangani olen pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia pada Januari 1947, berupa Genjatan senjata. Republik Indonesia, mempunyai wilayah Yogyakarta dan Surakarta di Jawa tengah; Aceh di Sumatera; dan Pantai Utara Jawa Timur. Wilayah lain telah dibentuk menjadi negara bagian tederal dibawah pimpinan administrasi Belanda sebagai Hooge Vertegenwoordiger van de kroom (Wakil Agoeng Mahkota), perubahan dari Letnan Gubernur Jenderal dan membentuk BFO ( Bijeenkost Federal Overleg ), sebuah lembaga pertemuan musyawarah federal,terdiri dari perwakilan negara-negara bagian federal.
Untuk mengawasi atas efektifitas dan kejujuran dalam melaksanakan perjanjian gencatan senjata antara 2 negara yang sedang bertikai, dibentuk lembaga yang bertugas memantau pelaksanaanya , berdasarkan mandat resmi dari Dewan Keamanan. Selama pelaksanaan gencatan senjata, dilakukan diplomasi untuk menyelesaiakan permasalahan konflik antar dua negara dan untuk memenuhi keinginan masing-masing negara, dalam pelaksanaan perjanjian, Indonesia meminta Australia mewakili kepentingan Indonesia sedangkan Belanda diwakili oleh Belgia. Untuk lebih bersifat netral, maka dua perwakilan negara tersebut meminta Amerika Serikat menjadi wakil ke 3, sehingga komisi pelaksana terdiri dari tiga negara dan pada saat itu Indonesia menyebut badan pengawas tersebut dengan sebutan Komisi Tiga negara ( KTN). Untuk menyelesaikan konflik antar dua negara tersebut, sidang-sidang yang dilaksanakan KTN dilaksanakan di dua tempat didua negara secara bergiliran. Pada waktu Agresi Belanda II terjadi, KTN sedang melaksanakan sidang di Indonesia dan sidang berlangsung di Kalioerang Yogjakarta.

Pemerintah menyerah, mengibarkan bendera putih. Pagi hari minggu, tanggal 19 Desember 1948, Belanda dengan mengerahkan kekuatan besar, telah menyerang jogyakarta tanpa terlebih dulu menyatakan perang, bahkan dalam siaran radio pagi hari itu hanya menyatakan bahwa belanda menganggap dan menyatakan tidak terikat lagi dengan perjanjian gencatan senjata yang telah di tanda tangani oleh dua fihak Indonesia dan Belanda. Sasaran utama dari serangan Belanda adalah merebut Maguwo, lapangan terbang di Jogyakarta. Dengan menguasai Maguwo, Belanda dapat mendaratkan kekuatan darat melalui pesawat angkut, yang disiapkan sesuai dengan rencana operasi yang telah dikeluarkan oleh Jenderal Spoor. Serangan Belanda ke Mguwo dan dilanjutkan dengan merebut Jogyakarta tidak mendapat perlawanan yang berarti dari TNI , karena beberapa hari sebelumnya, Tentara sudah merencanakan latihan perang sehingga pasukan yang bermarkas di Jogyakarta sudah dipindahkan keluar kota.
Serangan Belanda ke Yogjakarta pada minggu pagi tangal 19 Desember 1948, disaksikan langsung oleh wakil Australia dalam Komite tiga negara, yaitu Thomas Kingston Critchley, yang dikutip Julius Pour (2009; 66) dia mengatakan “ when the Dutch attacked Djogjakarta on the morning of 19 December 1948, I was having breakfast with bung Hatta, on the verandah of sultan’s bungalow which Hatt always used whwn he was in Kalioerang. Our breakfast was interrupted by the sign of Dutch planes dive bombing and strafing Djogjakarta” Pagi itu menanggapi serangan Belanda ke Republik Indonesia, pemerintah menyelenggarakan sidang darurat yang dipimpin oleh presiden an diikuti oleh beberapa menteri, yang saat itu sedang berada di Joyakarta.
Sidang darurat Kabinet menghasilkan 3 rumusan, meskipun pada saat itu Belanda sedang melancarkan serangan dan menjatuhkan bom di beberapa tempat yang dianggap strategis di sekitar Jogyakarta. Rumusan Pertama, Presiden , Wakil dan para menteri tidak akan meninggalkan Jogya, dengan mempertimbangkan tidak cukup pengawalan. Bila Mereka ditawan, masih memberi peluang untuk tetap dapat berhubungan dengan KTN; rumusan kedua, sidang menyetujui, Wakil presiden yang juga merangkap sebagai Menteri Pertahanan akan menganjurkan lewat radio, semua anggota tentara dan rakyat agar melakukan perang gerilya; rumusan ketiga, Presiden dan Wakil Presiden akan mengirim kawat kepada Menteri Kemakmuran Rakyat yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk Pemerintah darurat , menyusun Kabinet baru, sekaligus mengambil alih Pemerintahan. Rumusan kedua, awalnya merupakan pengumuman kepada seluruh rakyat untuk memilih pimpinan pemerintahan baru apabila Presiden dan Wakil Presiden terbunuh atau tertawan. Namun dengan pertimbangan bahwa apabila rumusan tersebut diumumkan, maka akan terjadi pembentukan pemerintahan darurat dimana-mana, sehingga hanya satu orang yang ditunjuk untuk menerima mandat yaitu Syafroeddin Prawiranegara, untuk melanjut kan pemerintahan.
Mandat dikirimkan dalam bentuk radiogram, yang dalam kutipan Julius Pour (2009;69) berbunyi
“ Kami, Presiden Republik Indonesia memberitahukan, bahwa pada hari minggu 19 Desember 1948 pukul 06.00, Belanda telah memulai serangannya terhadap Ibu Kota Djogjakarta. Jika dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannyalagi, kami menguasakan kepada Mr.Syafroeddin Prawiranegara, Menteri Kemakmoeran Republik Indonesia untuk membentuk Republlik Indonesia darurat di Sumatera ....”.
Sedangkan Wakil Presiden juga mengirimkan berita kepada Dr.Soedarsono dan Mr. Alex Maramis, dikantor perwakilan Republik di New Delhi, India, isi beritanya
“ ... jika upaya Syafroeddin Prawiranegara membentuk Pemerintah darurat di Sumatera tidak berhasil, kepada saudara berdua dikuasakan untuk membentuk exile governmen Republik Indonesia di India”

Pada waktu itu pidato Presiden dan Wakil presiden tidak dapat disiarkan di Radio, karena Radio Republik Indonesia ( RRI ) sudah hancur dijatuhi bom oleh tentara Belanda, sehingga teks pidato tersebut disebarkan dari tangan ketangan, kepada rakyat dan militer, para republiken, namun penyebaranya agak terlambat karena situasi yang tidak memungkinkan. Teks Pidato Presiden dan Wakil Presiden, baru dapat diterima di Batavia, 3 minggu setelahnya. Makna pidato tersebut sangat menggugah semangat perjuangan. Pidato Bung Karno menyatakan
“ ... kita tahu dengan senjatanya , Belanda mungkin dapat menguasai dan menduduki beberapa tempat penting. Tetapi mereka tidak mungkin dapat menghancurkan semangat perjuangan kita, tidak bisa menghapuskan kemerdekaan rakyat Indonesia. Kemerdekaan yang kita cintai dan telah kita pertahankan selama 3 tahun terakhir. Kemerdekaan yang sudah kita proklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, sudah lebur dengan jiwa kita, dan tidak akan lagi bisa dihancurkan...”
Pidato Bung Hatta menyatakan
“ Musuh ingin menguasai pemerintahan, tetapi Republlik Indonesia sama sekali tidak tergantung kepada orang-orang yang memimpin atau menjadi anggota pemerintah. Rakyat harus berperang , dan saya yakin , seluruh rakyat Indonesia siap mengambil alih perjuangan”.
Pada hari itu tanggal 19 Desember 1948, Presiden, Wakil Presiden dan beberapa menteri serta beberapa pejabat pemerintah menjadi tawanan politik Belanda, setelah sebelumnya sempat membawa bendera putih sebagai tanda menyerah dan selanjutnya menjadi tahanan rumah. Sebagian yang lain yang berhasil ditangkap Belanda diluar Istana, juga menjadi tawanan politik dan dimasukkan dalam penjara Wirogoenan. Beberapa menteri yang lain yang tidak berada ditempat karena sedang melaksanakan tugas di luar Ibukota Negara, sebagian mengikuti pengungsian dan ikut bergerilya. Beberapa hari kemudian para tawanan politik ini dipindahkan oleh Belanda kedaerah pengasingan. Presiden Soekarno dan beberapa orang di asingkan di Brastagi dan Moh. Hatta, Wakil presiden dengan beberapa orang di asingkan di Pulau Bangka.

Reaksi Dunia atas serangan Belanda ke Jogyakarta. Sebagian perwakilan KTN masih berada di Kalioerang, kecuali Merle Chohran sudah berada di Batavia, karena mengantar surat jawaban Pemerintah Republik Kepada Kerajaan Belanda. Keberadaan para wakil KTN di Kalioerang memberi kesempatan yang luas untuk melakukan pemantauan secara terus menerus atas serangan Belanda Ke Republik. Perwakilan KTN yang masih berada di Kalioerang antara lain Critchley dari Australia, Herremans dari Belgia, Lisley deputy dari Amerika, termasuk staf dan anggota militer pemantau gencatan senjata. Mellihat perkembangan tersebut, Critchley dari Australia mengajak rekan-rekannya untuk merumuskan laporan yang akan dikirimkan ke Dewan Keamanan. Laporan dibuat dalam bentuk telegram sebagai laporan pandangan mata. Namun laporan tersebut tidak dapat dikirimkan, karena semua fasilitas komunikasi telah dihancurkan Belanda dan baru dapat dilaporkan secara lengkap setelah semua diplomat perwakilan KTN berada di Batavia hari Selasa tanggal 21 Desember , setelah mereka diterbangkan oleh Belanda dari Jogya sebagai tindak lanjut tuntutan Amerika dan Dewan keamanan.
Akan tetapi, minggu siang tanggal 19 Desember 1948, Delegasi Amerika Merle Chohran dan TW Cutts wakil ketua delegasi Australia, sebelum mengirimkan laporan pandanan mata dari KTN, telah pula mengirim laporan kepada Dewan Keamanan tentang pelanggaran yang telah dilakukan oleh Belanda terhadap perjanjian Renville yang ditanda tangani kedua fihak pada tangal 17 Januari 1946. Laporan mengenai serangan Belanda ke Jogyakarta tersebut diterima oleh dewan keamanan sebelum serangan Belanda hari pertama selesai, karena perbedaan waktu 5 jam antara Batavia dan Paris. Dewan keamanan pada senin pagi, langsung mendesak Belanda untuk menjamin keselamatan para Delegasi KTN beserta stafnya yang sedang berada di Kalioerang.

Sementara itu Delegasi Republik , Mr. Soejono, Prof. Soepomo dan Joesoef Ronodipoero, pada minggu pagi , berhasil mengirimkan berita kepada Duta besar Dr. Soedarsono dan Menteri Keuangan Mr. Alex Maramis di New Delhi, melalui konsulat India di Batavia, tentang pernyataan Belanda yang tidak mengakui lagi perjanjian Renville, yang berarti perang akan segera terjadi.
Minggu sore sebagai hasil release kedutaan Indonesia di India, semua radio di India memberitakan serangan mendadak yang dilakukan Belanda terhadap Republik, dan berita ini langsung menjadi berita di berbagai negara, sehingga Agresi Belanda telah diketahui oleh Dunia.
Berita penyerangan Belanda terhadap Indonesia ini, memancing reaksi Perdana Menteri India, Nehru, setelah mendengar berita tentang serangan Belanda terhadap Republik, langsung menyampaikan gagasan untuk menyelenggarakan pertemuan antar bangsa, dengan agenda mengutuk Agressi militer Belanda ke Republik Indonesia di Jogyakarta.
Citra memalukan dialami Belanda, karena pada masa itu, negeri Belanda sedang dibangun atas bantuan Amerika, tetapi pada saat yang bersamaan melakukan serangan kepada negara lain, sehingga Belanda menerima tuduhan menyelewengkan dana bantuan tersebut untuk biaya perang.
Reaksi lain juga bermunculan atas serangan Belanda ini. Dari Liga Arab, Sekjen Lliga Abbel Rahman Azzam, menyatakan dengan tegas
“ ... to commit acts of aggression and to attacs the independence and territorial integrity of Republik Indonesia . The least that can be said about this conduct is that it is contrary to international practice in setting conflict. It is against the principles of the United Nations Charter ...”
Dari Ketua delegasi Philipina di Dewan Keamanan, yang sudah terlanjur reses dan kembali ke Philipina, Charlos Romulo, segera mengirim surat kepada Dewan keamanan, dengan menyatakan bahwa Belanda telah dengan sengaja melanggar Piagam tata krama antar bangsa yang baru saja dirintis untuk disepakati antar negara-negara terhormat.
Dari dalam negeri sendiri Negara Federal menentang sikap Belanda yang akan menyerang Jogyakarta, sikap negara Federal diawali dari Negara Indonesia Timur ( NIT ) . Siang setelah mendengar Pengumuman Belanda yang dibacakan oleh Dr. Beel, tentang keputusan belanda untuk tidak terikat lagi dengan perjanjian gencatan senjata, Kabinet NIT, dipimpin oleh Perdana menteri Demisioner Anak Agoeng Gde Agoeng , melaksanakan sidang darurat dan menghasilkan protes keras atas tindakan tentara Belanda menyerbu Republik. Secara serentak seluruh anggota kabinet NIT meletakkan jabatan. Ternyata sikap NIT juga diikuti oleh Negara Pasundan, mengambil sikap yang sama seperti yang dilakukan leh NIT. Dengan kondisi tersebut pertemuan musyawarah federal sebagai sekutu utama Belanda untuk merancang masa depan bekas wilayah Hindia belanda tidak mendukung sikap Belanda bahkan mengecam sikap Belanda.


Bagi Dewan keamanan, akhir Desember setiap tahun, merupakan waktu yang secara tradisi, dunia sedang persiapan untuk melaksanakan libur Natal dan tahun baru. Dewan keamanan juga sudah mempersiapkan Agenda untuk Reses. Situasi inilah sebenarnya yang dimanfaatkan oleh Jendral Spoor saat merencanakan serangan ke Jogyakarrta. Dia memperkirakan bahwa serangan akan berhasil dalam satu hari dan Republik dapat diambil alih. Serangan ini meskipun nantinya diketahui oleh Dewan keamanan, namun sudah terlambat, sehingga tidak ada pilihan lain, dunia akan menghapuskan Republik Indonesia dari Peta dunia. Kenyataannya, perhitungan Spoor meleset karena Dewan keamanan telah menerima laporan dari perwakilan Amerika sebelum para pejabat Dewan Keamanan melaksanakan reses. Berdasarkan laporan yang diterima ini, maka sekertariat mengumumkan kepada seluruh anggota Dewan Keamanan untuk mengikuti sidang darurat membahas agenda tunggal permasalahan serangan Belanda ke Republik. Desakan ini ternyata datang dari Amerika yang secara tersembunyi mencurigai penyelewengan dana bantuan Marshall Plan oleh Belanda , untuk membiayai operasi Militer di Jawa dan Sumatera. 


Dewan Keamanan melaksanakan sidang Selasa 22 Desember pukul 15.00 waktu Paris, dan melalui perdebatan, delegasi Belanda akhirnya menyetujui hasil sidang dan pada tanggal 24 Desember , sidang Dewan Keamanan telah menghasilkan resolusi, mendesak Belanda untuk menghentikan Agrresi dan segera membebaskan Presiden, Wakil Presiden Republik dan seluruh tahanan politik Indonesia yang ditangkap pada tanggal 19 Desember 1948. Belanda melalui delegasinya di Dewan Keamanan menyatakan bersedia melaksanakan semua keputusan sidang. Namun pejabat politik dan otoritas Belanda di Batavia menolak, mereka beranggapan Dewan keamanan tidak berhak mencampuri urusan Belanda karena tindakan yang dilakukan menyerang Jogyakarta merupakan tindakan polisionil, untuk mengatasi gangguan keamanan yang menjadi urusan dalam negeri. Mereka menyatakan Republik sudah bubar dan wilayah Indonesia sudah berubah dan menjadi wilayah kekuasaan kerajaan Belanda. Disamping itu otoritas Belanda di Batavia juga menyampaikan bahwa alat Republik yaitu TNI telah dihancurkan dan sudah berubah menjadi kelompok pengacau keamanan di wilayah yang diduduki Belanda. Sehingga mereka beralasan operasi tersebut sebagai operasi ketertiban dan keamanan.


Sanksi terhadap Belanda. Sikap otoritas Belanda di Batavia, menyebabkan reaksi keras dari Dewan Keamanan dan pada tanggal 25 Desember Resolusi Dewan keamanan disampaikan ulang dengan lebih keras, disertai ancaman akan menjatuhkan sanksi Internasional. Pada saat tersebut, sekaligus Dewan keamanan mengaktifkan kembali Military executive board, para perwira militer pemantau gencatan senjata yang masih berada di Batavia. Belanda ternyata berubah sikap dan kepada Dewan Keamanan Belanda berjanji untuk segera menghentikan operasi militer yang diarahkan kepada “unsur pengacau” istilah Belanda untuk TNI. Semua operasi militer akan dihentikan mulai tanggal 31 Desember 1948 untuk wilayah Jawa dan mulai tanggal 2 Januari untuk wilayah Sumatera.


Perlawanan Tentara Nasional Indonesia (TNI), terhadap Agresi Belanda. Diawali dari pengalaman yang terjadi pada Agresi militer Belanda I tahun 1946, TNI telah meningkatkan kewaspadaan dan telah melakukan langkah langkah penting sebagai sikap militer yang senantiasa siap melindungi keselamatan bangsa dan negara. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan TNI pada saat itu mulai dari reorganisasi kekuatan, pembagian wilayah tanggung jawab dan pembagian tugas masing masing organisasi. TNI saat itu telah diorganisir menjadi 3 unsur, yaitu unsur pasukan mobil, unsur pasukan territorial dan unsur pasukan cadangan. 


Sebagai implementasi janji TNI untuk melindungi dan mempertahankan kedaulatan, TNI menyusun Rencana kontijensi menghadapi kemungkinan Serangan mendadak. Pasukan TNI, berdasarkan pengalaman Agresi Belanda tahun 1946, menyadari bahwa dapat saja Belanda melakukan aksi serangan kepada Indonesia mengingat sikapnya pada masa-masa sebelumnya. Untuk mengantisipasi keadaan yang dapat muncul mendadak, Tentara Nasional Indonesia telah melakukan langkah-langkah antisipasi. Panglima Besar Soedirman sebagai pemimpin tertinggi di TNI melaksanakan reorganisasi dengan membagi TNI menjadi 5 wilayah, yang masing-masing dipimpin oleh seorang Panglima. Antara lain Panglima Tentara dan Teritorium Djawa ( PTTD), Panglima Tentara dan teritorium Sumatera (PTTS) , Markas Besar Komando Djawa (MBKD) . Untuk menenghadapi kemungkinan pecahnya perang, Pangsar juga menyempurnakan Perintah Siasat, yang disampaikan pada rapat bersama para Panglima, Gubernur dan Residen yang dilaksanakan di MBKD pada 11 Nopember 1948. Julius Pour (2009; 42). Terdapat 3 hal utama yang harus dilakukan oleh tentara (TNI) bila terjadi perang :
Pertama, Kota besar dan jaringan jalan raya tidak perlu dipertahankan, karena kekuatan musuh dipastikan lebih besar dan lebih lengkap.
Kedua, Menyusun rencana pengungsian secara total, penyebaran kantong-kantong perlawanan gerilya, dengan pertimbangan perang akan berlangsung secara luas dan waktu yang lama.
Ketiga, Rencana aksi perlawanan pasukan Republik yang telah ditetapkan adalah dengan melaksanakan perang gerilya.
Disamping perintah siasat tersebut, Panglima PTTD, memberikan perintah persiapan yang berisi :
Komandan Brigade X, Divisi III Diponegoro yang dipimpin oleh Letkol Soeharto, bertugas mempertahankan Jogyakarta ; Komando Militer Kota Jogya, menyiapkan Pos Komando darurat di dalam keratin untuk digunakan Presiden, sebagai posko sementara ,sebelum selanjutnya dipindahkan ke Samigaloeh, Koelon progo; Angkatan Udara, diperintahkan untuk mempersiapkan lapangan terbang darurat di Gading Gunung Kidul, sebagai persiapan menghadapi blockade oleh Belanda dan untuk tetap dapat berhubungan dengan dunia luar; Mempersiapkan tempat persembunyian rahasia di Jawa Timur, untuk digunakan Pangsar agar tetap dapat memimpin pertempuran.

Selanjutnya, bagi pasukan yang berasal dari daerah Federal, menyusup kembali kedaerah asal , sehingga Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat ; Brigade Diponegoro, kembali ke Banyoemas/Pekalongan; Brigade Damarwoelan/ Brawijaya, kembali ke Besoeki Jatim; Laskar-laskar yang berasal dari seberang, menyusup kembali kedaerah asal, Kalimantan, Sulawesi atau sunda kecil.
Serangan umum. Pasukan TNI sebagai salah satu kekuatan Negara yang masih dapat utuh dan mampu bergerak bebas, selalu mencari celah dan kelengahan pasukan Belanda. Setiap ada kesempatan selalu dimanfaatkan untuk melakukan gangguan dan serangan baik terhadap kedudukan pasukan maupun konvoi Belanda. Seperti yang dilakukan oleh pasukan dari Brigade X , pasukan penanggungjawab pertahanan Jogyakarta pada tanggal 29 Desember 1948.
Pasukan Belanda menerima informasi bahwa Letkol Soeharto dan pasukannya berada di Kulon Progo, Belanda mengerahkan pasukan untuk menyerbu kedudukan Soeharto. Namun data Belanda tidak akurat sehingga tidak berhasil menemukan tempat persembunyian Soeharto. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Pasukan TNI untuk melakukan serangan di kedudukan pasukan Belanda di Jogya karta. Semua kedudukan Belanda diserang oleh pasukan dengan kekuatan yang tidak terlalu besar, namun menimbulkan korban dan menghantui Pasukan Belanda. Serangan serupa juga dilakukan oleh pasukan TNI yang lain. Setiap saat pada waktu yang tidak terduga,kedudukan pasukan Belanda selalu diganggu. Arah kedatangan pasukan TNI selalu tidak terduga dan arah pengundurannyapun tidak dapat diperhitungkan. Serangan sporadic tidak hanya dilakukan di Jogyakarta saja, disemua kedudukan Belanda, melakukan serangan serupa, untuk mengacaukan dan membuat pasukan Belanda Tertekan secara mental dan fisik.
Proses diplomasi masih terus berlangsung, Fihak Belanda yang berada di Batavia tidak benar-benar mematuhi resolusi Dewan keamanan, kecaman dan tekanan dari segala penjuru tidak diindahkan. Rancangan Perdana Menteri India, Nehru, untuk melaksanakan pertemuan bangsa-bangsa Asia, terlaksana yang dihadiri oleh 15 Negara Asia, Australia dan Timur Tengah, dan telah berhasil menunjukkan kepada Dunia bahwa Negara-negara Asia mampu melakukan kerjasama dan solidaritas asia. Salah satu rumusan hasil pertemuan bangsa-bangsa, menyatakan bahwa Bangsa Asia, menuntut persamaan hak politik dan disetarakan dengan Negara-negara di Eropa dan Amerika, bukan hanya sebagai Negara-negara penghasil bahan mentah saja.
Sikap Belanda terhadap Republik Indonesia, menjadi sorotan dan kecaman, meskipun hasil sidang bangsa-bangsa Asia tidak langsung mempengaruhi sikap Belanda, namun secara Internasional, peran Asia mulai menjadi pertimbangan bagi bangsa-bangsa yang telah lebih dulu merdeka.
Panglima Brigade X Letkol Soeharto, setiap saat berfikir untuk melakukan pembalasan kepada Belanda, apalagi Jogyakarta merupakan wilayah yang menjadi tanggung jawab Brigade X untuk mempertahankan. Namun pada serangan pendadakan Belanda tanggal 19 Desember, posisi pasukan memang sudah digelar diluar Kota untuk mempersiapkan menghadapi rencana latihan militer. Selain Pak Harto, Sultan ternyata juga berfikiran serupa. Keberadaannya di keraton harus bermakna bagi Republik. Akhirnya melalui berbagai proses, pertemuan antara keduanya dapat berlangsung untuk membicarakan rencana serangan besar kepada pasukan Belanda yang dilakukan siang hari. Selama ini serangan-serangan terhadap kedudukan Belanda hampir selalu dilakukan malam hari, namun berdasarkan hasil monitoring perkembangan Internasional, pada bulan Maret direncanakan Dewan Keamanan akan melaksanakan sidang, termasuk mengagendakan Pelanggaran Belanda terhadap perjanjian gencatan senjata. Dengan memmanfaatkan momentum Politik internasional agar dapat menarik perhatian dunia, bahwa TNI masih eksis, maka dirancang serangan umum 1 Maret, dilaksanakan pada siang hari.
Serangan Umum dilaksanakan dirancang secara teliti dan terkoordinasi, sehingga sangat mengejutkan pasukan Belanda. Jam J ditentukan bersamaan dengan sirine berakhirnya jam malam, suara yang sudah sangat akrab dengan penduduk kota dan dari semua arah pasukan TNI secara bersamaan langsung bergerak, karena suara sirine dapat didengan dari seluruh kota. Serbuan datang dari arah luar kota, juga dilakukan oleh pasukan gerilya yang sejak malam hari sudah menyusup didalam kota. Dari selatan, bergerak pasukan SWK 102, arah barat bergerak pasukan 103 A, dari arah utara pasukan SWK 104 dan dari arah timur pasukan SWK 105. Komando taktis berada di sector barat yang langsung bergerak menuju Malioboro untuk memudahkan pelaksanaan komando dan pengendalian. Selain pasukan yang menyerbu kedalam kota, pasukan yang berada diluar kota melakukan penutupan/pengikatan terhadap pasukan Belanda yang berada diluar kota Jogya, agar tidak dapat memberikan bantuan kedalam kota. Dari arah barat, Koelon Progo, SWK 106 menghentikan kompi yang berada di jembatan Bantar. Pasukan TNI yang berada di Purworejo dan di Kebumen menutup rute yang mungkin digunakan Belanda untuk membantu dari arah barat. Pasukan yang berada di Magelang, menutup rute pasukan dari arah utara, sedangkan pasukan komando Gubernur militer menutup akses bantuan yang datang dari arah Solo dengan melakukan penghadangan di wilayah Klaten. Dalam waktu singkat hamper semua pos Militer Belanda dapat direbut dan diduduki oleh pasukan TNI, selama hampir 5 jam. Pada saat pasukan bantuan Belanda dari luar kota datang, pasukan TNI sudah meninggalkan kota, karena tugas serangan umum telah menyelesaikan sasaran yang direncanakan, merebut kota Jogyakarta, walaupun hanya beberapa jam.
Keberhasilan pasukan TNI merebut Jogya, mendapat sambutan gembira dan rasa bangga dari seluruh penduduk kota. Namun tidak aka nada artinya bila keberhasilan ini tidak diketahui oleh dunia. Karena tujuan serangan ini diarahkan untuk mempengaruhi opini dunia, bahwa TNI, pasukan Republik masih terorganisir dengan baik dan mampu menunjukkan eksistensinya.
Komandan Brigade, telah membuat draft berita yang akan dikirimkan melalui radio, dengan saluran dari Gunung Kidul, ke Aceh dan dilanjutkan ke India. Sehingga begitu serangan dilakukan, berita tersebut telah diterima di India dan menjadi berita siaran radio yang dapat didengar oleh masyarakat dan dapat diakses oleh semua saluran siaran radio diseluruh dunia. Kenyataannya strategi ini berhasil, pada saat release disampaikan oleh Belanda, menjadi berita basi yang juga dianggap mengada-ada.
Keberhasilan serangan umum ini tidak perlu menjadi perdebatan, apakah ini inisiatif Soeharto atau merupakan rancangan yang telah disusun secara nasional. Sebagai organisasi militer hal ini sudah dapat diperhitungkan dan dapat dinilai seharusnya seperti apa.
Serangan umum 1 Maret 1949, telah berhasil mempengaruhi opini dunia dan terutama Dewan keamanan, dan lebih lanjut berpengaruh kepada proses politik di Indonesia, sehingga mempersulit posisi Belanda di Indonesia juga termasuk di PBB dan pergaulannya dengan Internasional.
Kesimpulan.
Berbagai kajian dan analisis tentang rangkaian sejarah mulai Agresi Belanda II tanggal 19 Desember 1948 sampai penyerahan kembali kedaulatan Republik kepada pemerintah Indonesia, menimbulkan pendapat dan analisis yang menganggap terjadinya pertentangan antara pimpinan politik dan pimpinan militer, karena secara harfiah, beberapa keputusan politik memang tidak melibatkan sama sekalli pendapat militer. Namun demikian pada akhirnya strategi diplomasi dan strategi militer menjadi sebuah sinergi yang masing-masing mempunyai peran penting dan tidak dapat dipisahkan. Diplomasi dan militer saling mendukung, tidak ada keberhasilan militer tanpa didukung oleh kemampuan diplomasi, demikian juga sebaliknya diplomasi tidak akan berhasil tanpa dukungan kekuatan dan kemampuan militer, baik sebagai faktor penekan atau sebagai faktor pembuka jalan.
Apabila selama proses tersebut terdapat pertentangan, perbedaan pendapat, perubahan sikap dari keputusan awal dan keputusan lain, maka hal tersebut merupakan dinamika perjuangan dan sebagai pertimbangan –pertmbangan yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang setiap saat berubah dan memerlukan sikap yang berbeda untuk menghadapinya.
Dari kajian sejarah yang singkat ini dapat disimpulkan beberapa hal penting yaitu :
1. Dalam sebuah Negara, setiap peran yang bersifat sektoral harus dilakukan secara bersungguh-sungguh untuk mencapai sasaran sektornya, namun tidak boleh melupakan sinergi dengan sektor lain untuk mencapai tujuan bersama.
2. Dalam situasi dan kondisi seperti apapun, semua sektor kepentingan dalam Negara, butuh kewaspadaan dan kesiapsiagaan dengan menyiapkan rencana kontijensi, sebuah rencana menghadapi kemungkinan ancaman yang akan timbul, untuk menhindari akibat yang fatal.
3. Pada kenyataannya rakyat juga membutuhkan perintah/ instruksi resmi dari pemerintah dalam menghadapi situasi dan kondisi yang berkembang, dan rakyat butuh mengetahui kebijakan pemerintah agar rakyat mengetahui apa yang harus dilakukan dalam mendukung kebijakan pemerintah.
4. Keberhasilan TNI dalam melaksanakan tugas mempertahankan kedaulatan Negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa, bukan hanya pekerjaan militer, karena tanpa dukungan rakyat dan seluruh komponen bangsa lainnya hal tersebut sulit dilaksanakan. Namun demikian, kesatuan dan persatuan TNI pada saat itu dan juga kapanpun berpengaruh besar untuk menjadikan TNI sebagai benteng yang kuat untuk menghadapi setiap ancaman terhadap Negara.
5. Militer dalam sebuah Negara, sebagai alat Negara, berjuang demi persatuan dan kesatuan Negara, selalu akan taat kepada keputusan politik Negara yang diputuskan oleh pemerintah.

Tidak ada komentar: