GAGASAN NETRAL DALAM UPAYA
PENYELESAIAN PERMASALAHAN SEPARATISME DI PAPUA
Oleh : Juanda Sy, M.Si (Han)
1. Pendahuluan. Dalam kasus konflik internal, seperti yang terjadi di Papua dan Aceh, permasalahan pokok yang menjadi pemicu adalah adanya kesenjangan Ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya yang menyebabkan konflik sosial dan menimbulkan implikasi kepada tugas komunitas keamanan. Namun demikian, konflik sosial yang terjadi tidak mungkin dapat diatasi hanya oleh komunitas keamanan, karena akar permasalahan merupakan bagian dari tugas, peran dan fungsi lembaga yang membidangi sektor yang terjadi kesenjangan. Bila keputusan negara hanya memerangi kelompok bersenjata saja, akan cenderung berlarut, sangat sulit memperoleh dan menuntaskan permasalahan, selama permasalahan pokok yang menjadi penyebab tidak diatasi dengan baik. Dalam beberapa kasus dimana efektivitas dalam melaksanakan peran dan misi dapat dievaluasi, namun efektivitas yang terbaik umumnya ditentukan oleh bagaimana negara mengatur dan menetapkan peran dan tugas komunitas keamanan dalam mengatasi permasalahan separatisme dan konflik internal lainnya yang berkembang.
Keputusan pemerintah dalam memisahkan institusi dan peran TNI dan Polri, telah mengakibatkan kerancuan yang berkepanjangan dan bahkan menyulitkan pemerintah dalam mengatasi permasalahan dan merugikan kepentingan rakyat, karena langkah tersebut tidak diawali dengan memisahkan fungsi Pertahanan dan fungsi keamanan. Setelah pemerintahan Indonesia menerapkan sistem demokrasi, permasalahan besar dan menyangkut keselamatan bangsa masih belum dapat memerankan semua institusi, karena pengelolaan keamanan nasional masih dalam perdebatan dan setiap lembaga masih mementingkan institusi masing-masing dan belum mengutamakan keselamatan negara dan bangsa.
Perlu kesepakatan bersama untuk memahami bahwa tugas pertahanan sebagai fungsi negara dan keamanan sebagai fungsi pemerintah yang seharusnya tidak dipisahkan, karena sebagai fungsi negara salah satunya adalah keamanan. Dengan munculnya ide separatis dan aksi aksi menentang pemerintah yang berkembang dari waktu kewaktu, akan menghabiskan energi pemerintah untuk menetralisirnya, menyebabkan negara sulit berkembang, karena dibalik layar, kondisi dalam negeri membutuhkan biaya besar untuk mengantisipasi dan menghadapinya, sementara keadaan yang berkembang sangat mungkin diprovokasi oleh fihak asing yang menanamkan pengaruh dan mendukung aksi serta menjadi sponsor kegiatan yang menentang pemerintah. Menghadapi situasi yang terus berkembang di wilayah Papua, bagaimana memerankan setiap institusi yang berkepentingan agar peduli dan aktif mengantisipasi dan menekan berkembangnya ide seperatisme ?
2. Kondisi yang dihadapi dalam penyelesaian permasalahan separatisme di Papua.
Perkembangan yang terjadi dipapua dalam beberapa waktu terakhir menunjukkan intensitas yang meningkat, karena pada jalur politik, permasalahan Papua berhasil mendapat tempat dan diakomodasi oleh Pemerintah Inggris yang memancing kemarahan dari Pemerintah Indonesia. Selain itu bila ditinjau dari dalam negeri, dirasakan masih terdapat banyak permasalahan yang sampai saat sekarang belum dapat diselesaikan dengan baik. Beberapa permasalahan tersebut dapat disampaikan sebagai berikut :
a. Hubungan kerjasama antara Kepolisian, TNI dan instansi pemerintah lainnya masih menghadapi permasalahan yang kompleks dan hanya pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk mengaturnya. Secara prinsip TNI mempunyai kemampuan dan kesiapsiagaan yang setiap saat dapat digunakan dalam operasi militer selain perang, namun tugas perbantuan TNI kepada polri membutuhkan proses dan prosedur serta persyaratan sehingga perbantuan tidak dapat dilaksanakan secara otomatis. Untuk memudahkan proses dan prosedur tersebut, seharusnya pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan bagaimana pengerahan TNI untuk tugas perbantuan kepada polisi. TNI berharap agar pemerintah segera mengambil keputusan, namun sampai sekarang belum ada peraturan yang dapat dipedomani untuk mengatur kapan pengerahan TNI dapat dilakukan, siapa yang memutuskan, bagaimana bentuk pertanggungjawaban, bentuk keterlibatan TNI dan aturan pelibatan (rules of engagement) serta bagaimana dukungan anggaran dalam membiayai operasi bantuan tersebut.
Operasi bantuan TNI kepada Kepolisian, tidak cukup hanya mempedomani petunjuk pelaksanaan yang diterbitkan oleh Panglima TNI, bahkan belum cukup bila hanya mengandalkan keputusan presiden. Karena penggunaan kekuatan TNI telah ditetapkan dalam Undang-undang, sehingga penggunaan TNI dalam OMSP hanya dapat dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Selain itu bila mendalami undang undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian republik Indonesia, berkenaan dengan “keamanan dalam negeri” yang tercantum pada pasal 4, sebenarnya sudah cukup jelas, bahwa yang dimaksud mewujudkan keamanan dalam negeri adalah “ terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat serta terbinanya kemasyarakat dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia” yang mengandung pemahaman bahwa aspek “keamanan dalam negeri” yang yang tidak termasuk dalam kalimat tersebut dan berada diluar tugas yang dinyatakan dalam undang-undang tersebut seharusnya diterjemahkan oleh semua lembaga negara, bahwa masih terdapat tugas lain yang menjadi porsi dan tanggungjawab institusi lain diluar Kepolisian, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun Tentara Nasional Indonesia.
Indonesia masih berada pada masa transisi dari negara otoritarian menuju negara demokrasi. Keputusan negara melalui ketetapan MPR No VI /MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri, tidak dilandasi oleh pertimbangan yang akurat, telah mengorbankan kepentingan negara dan bangsa, karena pemisahan tersebut tidak didahului dengan pemisahan fungsi pertahanan dan fungsi keamanan, sehingga menimbulkan dampak yang berkepanjangan. Sebagai tindak lanjut atas ketetapan tersebut, pemerintah hanya menerbitkan undang-undang Kepolisian, undang-undang pertahanan dan Undang-undang TNI. Apabila ketetapan MPR terlebih dulu menetapkan pemisahan fungsi Pertahanan dan fungsi Keamanan, maka akan diterbitkan undang-undang Keamanan dan Undang-undang Pertahanan. Sehingga Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, merupakan implementasi dari amanat Undang-undang Pertahanan Negara dan seharusnya Undang-undang No 2/2002 tentang Kepolisian diterbitkan sebagai tindak lanjut "amanat undang-undang Keamanan", namun pada kenyataannya Undang-undang kepolisian, berdiri sendiri dan bukan merupakan kebijakan yang disusun sebagai tindak lanjut dari amanat undang-undang Keamanan.
Akibat yang timbul dari kondisi ini, opini publik menjadi rancu dan cenderung merugikan negara. Rakyat dan pemerintah menganggap bahwa keamanan menjadi domain Kepolisian sedangkan Pertahanan menjadi domain TNI, belum berfikir bahwa keamanan adalah fungsi pemerintah yang harus dilakukan bersama antar institusi pemerintah dengan rakyat sesuai peran dan fungsinya dan Pertahanan, tidak hanya menjadi domain TNI tetapi menjadi fungsi Negara yang selenggarakan oleh semua institusi termasuk rakyat.
Apabila semenjak awal proses pemisahan fungsi relevan, maka pada saatnya Negara ingin menyusun Undang-undang Keamanan Nasional, semua fihak “ pasti “ akan mendukung, dan saat ini mungkin Dewan Keamanan Nasional telah terbentuk dan berkarya, masing-masing institusi sesuai peran, tanggungjawab dan fungsinya sudah dapat berkarya demi kejayaan negara dan bangsa. Nasi telah menjadi bubur, apabila ingin menyelaraskan, maka harus mulai dari proses awal, yang tentunya akan menghadapi banyak “halangan dan rintangan”.
Kondisi pada orde baru telah kembali berlaku di era reformasi ini, hanya pelakunya yang berbeda. Apabila pada pemerintahan orde baru banyak tugas pemerintah yang didominasi oleh Militer, saat sekarang hampir semua aspek yang berhubungan dengan pemerintahan telah didominasi oleh Polri. Bahkan bila dirasakan lebih buruk daripada pemerintahan orde baru, karena pada era orde baru, ABRI masih menerapkan pola pembinaan kepada masyarakat, untuk menjadikan masyarakat menjadi lebih tertib, disiplin dan meningkatkan partisipasi dalam pembangunan. Sementara saat ini negara telah berubah seolah sebagai sebuah negara polisionil, semua aspek kehidupan dikendalikan oleh Kepolisian, tanpa menerapkan peran pembinaan terhadap masyarakat, sehingga semakin sering terjadi permasalahan sosial dan sikap menentang pemerintah. Pola kerja Kopkamtib, saat sekarang telah terjadi lagi, hanya pelakunya adalah Polri.
Banyak terjadi pelanggaran HAM yang tidak tersentuh, karena dominasi sistem hukum berada dalam satu institusi sehingga pola peng-awasan dan pengendalian tidak dapat berlangsung efektif. Sebagai sebuah ilustrasi, sebuah tindak pidana atau pelanggaran hukum, secara normatif harus diproses sesuai prosedur dan ketentuan hukum sampai pada penjatuhan hukuman oleh pengadilan. Sesuai aturan hukum, fihak yang didakwa melakukan pelanggaran hukum, harus dibuktikan di pengadilan, apakah dakwaan tersebut benar atau tidak benar, sehingga setiap pelanggar hukum akan menerima keputusan yang bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan. Namun banyak kasus, dimana seseorang atau sekelompok orang yang diduga melakukan tindak pidana, tanpa melalui proses hukum, telah dieksekusi mati, dengan pengepungan dan penembakan/pembunuhan. Apabila seorang atau sekelompok orang yang diduga melakukan pelanggaran hukum, tanpa melalui proses hukum diburu dan dibunuh, hanya dengan mengandalkan alasan "melakukan perlawanan" maka kasus seperti ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hak azasi manusia atau mengabaikan keamanan insani. Namun sampai saat sekarang kasus-kasus seperti ini tidak pernah diungkap sebagai pelanggaran HAM, karena pelaku tidak terjangkau oleh hukum, mereka adalah penegak hukum.
b. Papua masih menghadapi berbagai permasalahan yang menunjukkan belum terlaksananya kewajiban pemerintah daerah otonom. Undang-undang RI nomor 32 tahun 2004, pada pasal 22 menyatakan “ Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban (a) “melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dengan masih berkembangnya separatisme diwilayah ini, dapat dinilai sebagai bentuk kegagalan pemerintah daerah setempat, karena kewajiban pemerintah daerah otonom, yang dituangkan dalam APBD berdasarkan amanat undang-undang, belum dapat meraih hasil yang diharapkan. Kondisi ini juga memperlihatkan bahwa pemerintah daerah belum mampu mensinergikan sumberdaya yang ada didaerah dan koordinasi antar institusi masih belum terlaksana dengan baik, sehingga pembagian tugas untuk melaksanakan kewajiban ini masih belum dapat terselenggara dengan baik. Hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh keraguan pemerintah daerah dalam pengelolaan keamanan, sebagai dampak dari pemisahan peran dan institusi TNI dan Polri, yang tidak jelas dalam memisahkan fungsi keamanan dan pertahanan, sehingga “mereka” beranggapan bahwa pengamanan menjadi tugas Polri, yang berakibat setiap langkah pengamanan masih menunggu proses dan keputusan polri.
Ditinjau dari Sosial budaya. Rakyat papua secara tradisi menganggap sebuah janji, sebagai hutang, sehingga apabila pemerintah atau aktor pemerintah menyampaikan sebuah janji kepada masyarakat, sebelum janji tersebut dipenuhi, masyarakat akan menuntut sampai janji tersebut diwujudkan oleh pemerintah. Kegagalan pemerintah untuk memenuhi janji akan menghilangkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, dan selamanya pemerintah akan sulit memperoleh kepercayaan rakyat. Keadaan ini terjadi pada program otonomi khusus, dimana pemerintah menyatakan dengan otonomi khusus, pemberdayaan masyarakat akan berlangsung dengan baik dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada kenyataannya, implementasi otonomi khusus yang telah berlangsung beberapa periode belum dapat mewujudkan “janji” pemerintah, yang menyebabkan kepercayaan rakyat kepada pemerintah menjadi menurun dan upaya lanjutan akan sulit disosialisaikan dan diterapkan di masyarakat karena faktor ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah yang telah dianggap “berbohong” kepada rakyat.
Keberadaan missionaris yang telah bertahun-tahun mengabdi dimasyarakat, tidak dapat dimanfaatkan untuk membantu tugas pemerintah diluar misi mereka. Para missionaris tidak dapat dipengaruhi oleh pemerintah, sangat kecil kemungkinannya dapat memerankan mereka dalam pembinaan diluar kepentingan misi agama yang diembannya. Dengan sikap independen para missionaris ini, pemerintah tidak dapat memanfaatkan keberadaan mereka diwilayah pedalaman, karena misi mereka adalah misi agama yang tidak mau dipengaruhi oleh kepentingan diluar tugasnya. Beberapa pengalaman memberikan bukti bahwa para misionaris dapat berhubungan langsung dengan kelompok separatis diarea tertentu secara berkala dalam pembinaan spiritualnya, namun tidak pernah dapat diajak bekerjasama dengan aparat keamanan, karena mereka mengganggap bila hal tersebut dilakukan, berarati mengingkari tugas mereka sebagai misionaris, yang hanya bergerak dibidang pembinaan spiritual.
Perekonomian masyarakat sulit berkembang karena dipengaruhi oleh faktor keterbatasan dan terbatasnya ketersediaan sarana prasarana transportasi darat. Dengan kondisi geografi yang sangat luas, medan yang terpotong-potong, menyebabkan proses pembangunan infrastruktur transportasi darat menjadi lambat dan mahal. Kondisi ini menyebabkan masih banyak wilayah yang terisolasi yang belum dapat menjalin komunikasi dengan wilayah lain disekitarnya yang menyebabkan perekonomian didaerah sulit berkembang. Kebutuhan hidup primer sangat mahal karena penyediaan kebutuhan masyarakat hanya dapat didistribusikan dengan menggunakan sarana transportasi udara, sehingga untuk memperoleh bahan pokok primer, rakyat harus mengeluarkan biaya yang mahal. Prasarana transportasi darat hanya menjangkau sebagian kecil wilayah, sebagian besar wilayah lainnya masih belum terjangkau dan hanya dapat memanfaatkan sarana angkutan udara atau air yang jauh lebih mahal.
c. Peran TNI di daerah belum dapat terselenggara secara optimal. Amanat UU RI nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, menyatakan tugas pokok TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), diselenggarakan berdasarkan kebijakan politik negara, yang muncul sebagai akibat dari pola hubungan sipil militer di era demokrasi, dimana para politisi, karena trauma masa lalu, menyusun bentuk-bentuk pembatasan terhadap peran militer. Pembatasan tersebut mempengaruhi pelaksanaan tugas pokok TNI dan merugikan kepentingan Nasional, karena untuk melaksanakan tugas mengatasi separatisme bersenjata masih menunggu kebijakan dan keputusan politik negara. Sementara Negara mebiarkan terjadi tindakan melanggar hukum dan Hak Azasi manusia, karena Kepolisian sebagai penegak hukum dapat dengan bebas melakukan tindakan tanpa proses hukum, bahkan dapat menimbulkan korban jiwa karena operasi yang diselenggarakannya.
Geografi yang luas dengan medan yang terpotong potong menyulitkan petugas untuk melaksanakan pembinaan secara langsung dan berkelanjutan. Rendahnya alokasi anggaran negara dalam mendukung sistem pertahanan, sebagai salah satu bentuk pembatasan yang dilakukan oleh otoritas sipil yang menyebabkan postur tentara menjadi relatif kecil bila dibandingkan dengan luas wilayah negara. Kekuatan pokok minimal belum terwujud yang berpengaruh langsung terhadap pelaksanaan tugas pokok tentara yang dinyatakan dalam tugas Operasi militer perang dan operasi militer selain perang. Dengan kondisi yang serba terbatas tersebut, menyebabkan kemampuan tentara untuk melakukan pengawasan dan pengamanan wilayah negara menjadi terbatas, dan memunculkan Ungovern places karena tidak mampu diawasi oleh pemerintah dan kekuatan pertahanan negara. Pasukan TNI yang melaksanakan tugas di Papua hanya mengandalkan perlengkapan dan dukungan operasi yang seadanya, seperti yang berlaku bagi pasukan di home base, belum terlihat prioritas dukungan yang diberikan kepada pasukan yang melaksanakan tugas operasi.
Banyaknya wilayah yang berada diluar kontrol, bukan hanya terjadi diwilayah Papua saja, tetapi juga terdapat diwilayah lainnya, memberi keleluasan kepada pihak asing memanfaatkan wilayah tersebut untuk melakukan penyusupan dan menyebarkan propaganda, memprovokasi rakyat didaerah tertinggal yang merasa diperlakukan tidak adil, menyebabkan tumbuhnya ide separatis. Dari kondisi tersebut, dibeberapa wilayah lain juga membuka peluang munculnya aksi penyiapan pelaku teror, penyelundupan senjata dan aksi lain yang bersifat menentang pemerintah, bahkan sering muncul konflik antar kelompok masyarakat yang disebabkan permasalahan sepele yang menimbulkan korban dan perpecahan yang tidak dapat ditangani secara cepat. Namun pada kondisi seperti saat ini, penggunaan TNI sebagai komponen kekuatan nasional, masih menghadapi tantangan karena belum secara resmi dilegitimasi oleh keputusan dan kebijakan politik negara, meskipun secara legal tugas TNI sudah tertuang dalam Undang-undang ( sebagai kebijakan politik Negara), tetapi dalam kebijakan negara tersebut masih dibatasi dengan “... dilaksanakan atas keputusan dan kebijakan politik negara ...” sehingga penggunaan TNI dalam mengatasi separatis bersenjata, belum dapat terselenggara secara optimal karena terhambat oleh kebijakan Negara.
3. Gagasan untuk penyelesaian permasalahan di Papua.
Mengevaluasi beberapa kasus yang pernah terjadi didalam negeri, seperti tragedi Sampit, Ambon dan Poso, dinilai bahwa proses penangannya agak terlambat yang mengakibatkan korban jiwa berjatuhan dalam jumlah yang cukup besar. Trend baru yang berkembang dalam bentuk aksi anarkhis, konflik komunal dan aksi yang menentang pemerintah, serta sikap menantang dalam sengketa perbatasan negara, belum dapat diselesaikan secara tuntas dan masih menyisakan residu, meerupakan akibat yang ditimbulkan oleh belum tuntasnya penentuan lembaga yang bertanggungjawab menyelenggarakan dan mengelola fungsi keamanan.
Permasalahan di Papua sangat penting untuk mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Permasalahan Papua dapat terjadi karena sinergi antar lembaga belum dapat terjalin dengan baik dan belum terkoordinir. Kerancuan konsep yang menimbulkan multi tafsir menyebabkan masing-masing institusi mempersepsikan sesuai kepentingan lembaga masing-masing, mulai dari pemahaman tentang keamanan nasional; ancaman dari luar dan dari dalam negeri; pemahaman tentang pertahanan negara dan TNI sebagai komponen kekuatan nasional; dan pemahaman keamanan dalam negeri serta kamtibmas. Disamping itu permasalahan penting lainnya karena proses pembuatan keputusan belum terorganisasi, sistem koordinasi dan kerjasama antar institusi belum dibakukan, baik dibelakang meja maupun dilapangan, karena belum adanya pedoman yang baku, menyebabkan unsur pelaksana dilapangan dalam melaksanakan tugas kurang bersinergi.
Mempelajari tragedi yang pernah terjadi dan mencegah kemungkinan muncul tragedi serupa ditempat lain, maka penyelesaian permasalahan di Papua harus diawali dengan memperkuat forum komunikasi antar pimpinan daerah sebagai perangkat daerah untuk mengelola keamanan berdasarkan ketentuan yang berlaku dengan melaksanakan deteksi dini, Identifikasi, pengkajian, proses pengambilan keputusan, dan pengendalian. Deteksi dini menjadi elemen penting, karena data intelijen akan menjadi bahan untuk melakukan identifikasi, analisis/pengkajian dan sebagai bahan pertimbangan dalam proses pembuatan keputusan, sebagai dasar untuk melakukan tindakan pencegahan sebagai sikap proaktif.
Bidang pertahanan, difahami oleh pemerintah daerah bukan menjadi wewenangnya, yang menyebabkan interaksi, koordinasi dan sinkronisasi dengan TNI kurang efektif. Kondisi ini menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan kerjasama dalam bidang pemberdayaan wilayah pertahanan, meskipun bila didalami, pemerintah daerah sebenarnya merupakan institusi terdepan dalam melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan sesuai dengan pasal 22 Undang-undang RI nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah. Namun kewajiban pemerintah daerah otonom ini juga belum difahami secara mendalam oleh para pejabat Kowil, sehingga kowil belum dapat menempatkan diri untuk dapat berperan dalam program ini. Pemahaman tentang tugas pemberdayaan wilayah pertahanan masih belum sesuai harapan, karena kowil berusaha melaksanakan tugas ini secara mandiri, sementara secara akuntabilitas, sangat tidak mungkin dapat terselenggara karena faktor utama yang dihadapi yaitu keterbatasan anggaran dan kewenangan diwilayah.
Pengembangan wilayah administrasi pemerintahan, bukan menjadi pilihan yang terbaik, karena berbagai pertimbangan penggunaan anggaran dan pemahaman tentang otonomi daerah yang masih relatif rendah. Pada dinamika pemekaran wilayah, menyebabkan penggunaan anggaran yang besar untuk membiayai pembangunan fasilitas perkantoran, belanja pegawai dan pilkada. Dilain fihak pelayanan sosial bagi masyarakat belum sepenuhnya dapat terlaksana dan belum dapat dinikmati secara merata oleh masyarakat, sehingga akan lebih menguntungkan apabila anggaran yang akan dialokasikan bagi pemekaran wilayah dapat dikelola untuk membuka isolasi daerah dengan pembangunan infrastruktur transportasi, melalui perencanaan yang terpusat sehingga penggunaan anggaran diperlakukan secara khusus dengan kontrol pusat.
Penanganan konflik Internal, menjadi tugas institusi sipil, meskippun pada kondisi tertentu akan berimplikasi menjadi tugas TNI dalam pelaksanaan operasi militer selain perang. Pemerintah daerah seharusnya dapat berperan sebagai kompartemen daerah yang harus dapat menjalin hubungan antar kompartemen dalam meningkatkan kesiapan setiap kompartemen. Fungsi pembinaan bukan hanya menjadi tugas TNI namun merupakan wilayah kerja institusi-institusi sipil, sehingga Institusi-institusi sipil berperan dalam menjalankan proses pemberdayaan wilayah, agar masyarakat sadar bahwa mereka juga terlibat secara langsung dalam pembangunan dan upaya negara dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. Untuk menangani potensi konflik internal dalam bentuk yang mengarah kepada kemungkinan terjadinya konflik, menjadi tugas institusi sipil untuk menemukan akar parmasalahan dan mencari jalan keluar serta menyelesaikannya. Permasalahan yang sering timbul adalah akibat tugas sipil yang gagal, sehingga institusi sipil harus menyadari bahwa inti pelaksana penanganan konflik menjadi kewajiban mereka. Namun demikian bila terdapat permasalahan yang muncul dalam bentuk separatis bersenjata, menjadi sebuah “implikasi “ yang menjadi bagian tugas militer dalam tugas operasi militer selain perang. Kekuatan TNI dikerahkan dalam rangka pelibatan (bukan pelaku utama) dan hanya berperan “mengatasi separatis bersenjata”, bukan sebagai aktor resolusi konflik, karena permasalahan selain “separatis bersenjata” tetap menjadi bagian dari institusi sipil untuk mengatasinya. Dalam kaitan menjaga kemungkinan muncul implikasi dari tugas institusi sipil, TNI tetap mempersiapkan organisasinya agar tetap dalam kondisi kesiapsiagaan yang prima, sehingga setiap saat terjadi peningkatan eskalasi, dimana perlawanan dilakukan dalam bentuk perjuangan bersenjata, maka TNI dapat segera mengambil alih untuk menghancurkan kekuatan kelompok separatis bersenjata, bukan hanya “memberi efek jera” namun demikian, pelaksanaan tugas tetap mempedomani keputusan dan kebijakan politik negara.
Pada hakekatnya, keterlibatan TNI dalam pembinaan, lebih banyak diarahkan dalam proses yang lebih diarahkan kepada menyatukan persepsi agar rakyat secara sadar mengerti dan memahami hak dan kewajibannya dalam pembelaan negara dan secara sadar mau membantu tugas militer, baik pada masa damai maupun pada masa terjadi konflik sampai pada situasi perang, yang dalam doktrin pertahanan Negara lebih dikenal dengan istilah Kemanunggalan TNI - Rakyat.
Negara berkewajiban untuk menyediakan fasilitas dan memberikan pelayanan sosial yang baik kepada rakyat. Beberapa hasil analisis yang diterbitkan menyatakan bahwa kesejahteraan rakyat dapat dinilai dari seberapa besar Negara mengalokasikan anggarannya untuk pelayanan sosial bagi rakyatnya, namun hasil pengamatan para peneliti menyimpulkan bahwa pada kenyataannya tidak semua Negara dengan pendapatan yang besar mengalokasikan anggaran dengan prosentase besar bagi pelayanan sosial, karena kebijakan tersebut tergantung dari keputusan pimpinan Negara. Dari berbagai pandangan tentang pelayanan sosial bagi rakyat, terdapat pandangan yang mengatakan bahwa Negara tidak harus menunggu memperoleh pendapatan besar untuk memberikan pelayanan yang baik bagi rakyatnya. Namun pada akhirnya Negara dengan kemampuan yang besar dan mengalokasikan anggaran pelayanan sosial yang besarlah yang dapat memberikan kesejahteraan rakyat lebih baik.
Rakyat yang sejahtera, dengan sistem pelayanan sosial yang diselenggarakan pemerintahan yang dapat dinikmati oleh rakyat, akan memberikan ketentraman dan keteraturan dalam lingkungan masyarakat. Ketentraman dan ketertiban masyarakat yang baik yang diwujudkan oleh pemerintah melalui penciptaan sistem dan pelayanan sosial yang baik bagi rakyat ( dalam hal ini telah dituangkan dalam UU RI nomor 32 pada pasal 22). Pelayanan sosial yang baik bagi rakyat, akan meningkatkan kesetiaan rakyat dalam mendukung kebijakan pemerintah dan dapat mencegah terjadinya intervensi dan propaganda yang dilakukan oleh fihak lain sebagai pengaruh negatif terhadap rakyat, sehingga lingkungan kondusif dapat dicapai.
Melalui sistem pelayanan sosial yang baik, negara akan mendapatkan kesetiaan dari rakyat dan sebaliknya bila negara menerapkan sistem pelayanan sosial yang tidak menyentuh kebutuhan rakyat, maka kesetiaan rakyat terhadap negara akan lenyap.
5. Kesimpulan. Dari pembahasan yang disampaikan diatas dapat disimpulkan beberapa hal yaitu :
a. Masih adanya ide separatis di bebepapa wilayah Negara, salah satunya di Papua, membuktikan bahwa kewajiban pemerintah daerah Otonom belum dapat terselenggara secara optimal dan belum dapat menyentuh kepada seluruh rakyat diwilayah pemerintahannya, sehingga semangat persatuan masih belum tertanam dengan baik.
b. Hubungan kerjasama antara TNI dengan Polri masih bermasalah karena belum jelasnya wilayah tugas yang membutuhkan koordinasi dan kerjasama karena Negara belum secara tegas memberikan pedoman yang dapat dijabarkan didaerah sehingga pelaksanaan tugas diwilayah antara kedua Institusi ini masih belum berjalan saling memperkuat.
c. Pemerintah daerah, dalam melaksanakan kewajibannya belum mampu meman-faatkan semua sumberdaya institusi yang ada diwilayahnya untuk dapat saling bersinergi menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dan belum memprioritaskan penyediaan pelayanan sosial bagi rakyatnya.
d. Keterabatasan satuan TNI diwilayah papua dengan geografi yang sangat luas, me-nyebabkan banyak wilayah yang tidak dapat diawasi dan diamankan dan menimbulkan wilayah yang berada diluar kendali pemerintah. Kondisi seperti ini memberikan peluang kepada fihak lain /asing/yang tidak bertanaggungjawab melakukan aksi memprovokasi rakyat yang diarahkan untuk merongrong kewibawaan pemerintah.
e. Pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah, belum memperlihatkan orientasi nasional, karena diberbagai wilayah masih belum tersentuh oleh program pembangunan perekonomian, terutama yang diarahkan bagi pemberdayaan masyarakat. Alasan pemerintah memang sederhana, karena dibeberapa wilayah, penilaian kemampuan sumber daya manusianya belum memungkinkan untuk penerapan program ini. Meskipun kelompok pendamping telah disiapkan, namun proses pemberdayaan dianggap akan menjadi penghambat dan anggaran pemerintah diprediksi akan menjadi sia-sia dan tidak berkembang. Selain itu, proses pencairan bantuan juga menjadi penyebab terhambatnya program pemberdayaan karena persyaratan yang terlalu rumit yang menyebabkan banyak kelompok masyarakat yang putus asa dan memilih memanfaatkan para rentenir yang pada akhirnya justru menjerat leher yang pada ujungnya masyarakat semakin terpuruk dalam kemiskinan.
6. Saran. Dengan memperhatikan kesimpulan yang disampaikan, diajukan beberapa saran sebagai berikkut :
a. Komando kewilayahan perlu melakukan koordinasi secara intensif tentang pelaksanaan program melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kewajiban pemerintah daerah otonom yang disusun pemerintah daerah agar dapat membantu tugas pemerintah daerah otonom secara optimal.
b. Pemerintah perlu segera menerbitkan kebijakan tentang pembagian tugas bagi TNI dan Polri dalam mengatasi permasalahan separatisme, terutama dalam mengatasi separatis bersenjata yang terjadi di Indonesia.
c. Agar pejabat Panglima/Komandan Komando kewilayahan mendorong kepala daerah untuk dapat memanfaatkan semua institusi diwilayahnya dalam menyelesaikan permasalahan separatisme, melalui kerjasama antar intitusi sesuai bidang tugas masing-masing, untuk dapat meningkatkan kepercayaan dan dukungan dari rakyat dalam pelaksanaan pembangunan.
d. Satuan organik dan penugasan diwilayah Papua, yang diterjunkan ke daerah operasi agar dilengkapi peralatan dan perlengkapan sesuai kebutuhan tugas dan didukung dengan sarana transportasi udara yang dapat digunakan setiap saat, sehingga dapat melaksanakan pengamanan, pengawasan dan pengendalian wilayah yang cukup luas secara lebih efektif.
Nama : Juanda Sy, M.Si (Han)
Pangkat Terakhir : Brigjen TNI
Jabatan Terakhir : Pati ahli Tk II Panglima TNI, Bid. Kawasan khusus dan LH
Pendidikan :
Akabri th 1981, susarcab If, dasar para, susjurpa interogator, susjurpatih Nubika, Suslapa II, Seskoad, sesko TNI dan SSPS (post graduate) Unhan.
Executive Course for Civil military relations, Naval Post Graduate School (NPS) Monterey, California, AS
Jabatan :
Danton, Dankiban, Dankipan, Kasiops, Dankima (Yonif 410/Alg), Wadanyonif 732/Banau, Danyonif 141/AYJP, Dandim 0405/Lahat, Pamen Bakorstanasda bidang Hukum, Waasops Dam II/Swj, Irmadya Itjenad bidang Organisasi dan pendidikan, Dirbinlem Secapaad, Danmensis Secapaad dan Danrindam XVI/PTM.
Penugasan : Irian jaya [ Danton (82/83), Danki (90/91), Wadanyon (93/94) dan Danyon ( 96/97) ], Timor Timur (1985-1988).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar