Lingkaran
Demokrasi,
Elektabilitas,
Korupsi
dan feodalisme
di Indonesia
Created by Juanda Sy.,M.Si (Han)
Created by Juanda Sy.,M.Si (Han)
Hampir sepanjang
tahun, berita tentang proses penangkapan,pengusutan, penyidikan, persidangan
terhadap pelaku kasus korupsi hampir selalu menghiasi halaman muka media cetak
, dikuman-dangkan media elektronik, baik melalui radio atau televisi. Pemberitaan seperti ini sudah menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat Indonesia dan berpengaruh kepada Partai politik,
karena munculnya kader partai yang dipublikasi melalui media masa sebagai
tersangka korupsi, membuat isu negatif bagi partai dan berpengaruh terhadap
keberpihakan rakyat kepada partai.
Beberapa aktor
partai menilai bahwa pemberitaan media tidak proposional dan dianggap
memojokkan partai tertentu, karena menganggap bahwa hanya kader partai “mereka
“saja yang dipublikasikan, sedangkan kader partai lain yang juga melakukan hal
serupa kurang mendapat perhatian dan terhindar atau sengaja tidak
dipublikasikan.
Dalam sebuah
literatur, pernah disampaikan bahwa demokrasi akan efektif, bila penghasilan
perkapita penduduk, minimal mencapai US $ 4.500 pertahun. Namun Indonesia sebagai negara ke 4 terbesar
jumlah penduduknya dengan pendapatan penduduk berada pada level US $ 3.592, pada
tahun 2012, seperti yang disampaikan pada pidato
presiden republik indonesia
pada penyampaian keterangan pemerintah
atas
rancangan undang-undang
tentang
anggaran pendapatan dan belanja negara
(rapbn) tahun anggaran 2014
beserta nota keuangannya
di depan rapat
paripurna dewan perwakilan rakyat republik indonesia
, 16 agustus 2013.
Sistem pemilu
dibeberapa negara diterapkan secara berbeda, ada yang menerapkan sistem
distrik, atau sistem seimbang, masing-masing memiliki kelebihan dan
kelemahan. Di Indonesia dengan
penerapan sistem seimbang, karena diikuti oleh banyak partai, menyebabkan para
pimpinan Parpol menjadi penguasa, karena dapat menentukan wakil mereka di
lembaga Legislatif, sehingga setiap kader berusaha menjadi dekat dengan
pimpinan partai, dan dengan segala cara digunakan untuk dapat terpilih menjadi anggota
parlemen.
Dalam pemerintahan
yang menerapkan sistem demokrasi, partai politik berupaya untuk menjadi partai
pemenang agar dapat menjadi partai penguasa baik di Legislatif maupun
eksekutif. Masalah yang perlu menjadi
perhatian adalah partai menganggap bahwa kekuasaan
menjadi tujuan, sehingga setelah berkuasa, mereka menempatkan kadernya pada
pos-pos yang dianggap paling menguntungkan dalam perolehan finansial, agar
melalui "pengelolaan anggaran" mulai dari hilir ke hulu, dapat menghasilkan
keuntungan yang dapat memberikan dukungan dana kepada partainya.
Dalam kasus ini, sangat mungkin terjadi deal
bagi siapapun yang ditempatkan pada posisi “basah” agar dalam waktu tertentu
baik secara insidentil maupun berkala dapat menyetorkan sejumlah dana bagi
operasional partai. Karena partai
menganggap bahwa tujuan telah tercapai, maka dalam pengabdiannya tidak
ditujukan kepada rakyat sebagai pendukungnya, tetapi lebih meng-utamakan
kepantingan kelompok dan kepentingan pribadi dan hal inilah yang menyebabkan
munculnya banyak kasus korupsi yang melibatkan kader partai.
Dalam kasus keluhan
Partai tertentu atas banyak kadernya yang tersangkut korupsi dan dipublikasikan
secara “berlebihan”, menjadi relevan dengan sistem demokrasi yang dijalankan,
karena sebagai pemenang, mereka berhak dan memilih pos mana saja yang dianggap
dapat dikelola yang dapat menghasilkan banyak dana dan karena merasa sudah
mencapai tujuan, para kader yang menduduki pos “basah” tersebut harus melakukan
kewajiban-nya, namun proses pengumpulan dana tersebut “melampui” kebutuhan
partai dan cenderung memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi atau paling
tidak untuk kelompok kecil yang mengakibatkan ketaatan terhadap aturan ,
kecermatan dalam pengelolaan program dan anggaran dikesampingkan yang berakibat kepada terjadinya kasus korupsi dan
proses hukum.
Para kader partai yang
ingin duduk pada pos-pos terpilih, berusaha denganmenggunakan berbagai cara,
termasuk mungkin dengan mengguna-kan kekuatan finansial. Para kader atau individue yang dipilih oleh
partai menjadi calon Gubernur, Bupati dan Walikota, kontestan minimal
membutuhkan biaya kampanye partai diatas 25 Milyar. Maka sangat layak pada saatnya setelah duduk
diposisinya, mereka berfikir untuk
mengembalikan modal, sehingga korupsi memang menjadi suatu yang tidak
terhindarkan, karena ada dua kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu mengembalikan
modal dan menyetor kepada partai, sebagai bagian dari “deal” sebelum duduk
dijabatannya.
Banyaknya kader
partai yang terjerat kasus korupsi, dihadapkan dengan kebebasan pers yang
berlaku saat sekarang, menyebabkan setiap kasus akan dipublikasikan melalui
media dan dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat dengan mudah melalui
berbagai media, karena sebagian besar masyarakat telah memanfaatkan teknologi. Masyarakat yang semakin pandai sudah dapat
menilai bahwa partai tertentu yang kadernya tersangkut korupsi, sebenar-nya hanya
mementingkan pribadi dan golongannya, kepentingan rakyat bukan menjadi
prioritas utama, akan ditinggalkan oleh konstituennya yang berarti dukungan rakyat berkurang dan berpengaruh kepada elektabilitas Partai.
Pada tahun 2014,
pemilu akan digelar pada bulan April, akan tetapi, hampir semua partai hanya
berbicara bagaimana meraih kemenangan yang berarti memperoleh kekuasaan. Beberapa memang menyatakan harapannya agar
setelah pemilu, akan terjadi perbaikan disegala bidang, meskipun mereka tidak
pernah berfikir bahwa seharusnya hal tersebut yang menjadi tujuan, sedangkan “kekuasaan” hanyalah sarana yang perlu
direbut agar kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dapat dicapai melalui berbagai
program yang “tidak” hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar