Rabu, 01 Januari 2014

Lingkaran Demokrasi, Elektabilitas, Korupsi dan feodalisme di Indonesia



Lingkaran
Demokrasi,
Elektabilitas,
Korupsi
dan feodalisme
 di Indonesia

Created by Juanda Sy.,M.Si (Han)

Hampir sepanjang tahun, berita tentang proses penangkapan,pengusutan, penyidikan, persidangan terhadap pelaku kasus korupsi hampir selalu menghiasi halaman muka media cetak , dikuman-dangkan media elektronik, baik melalui radio atau televisi.   Pemberitaan seperti ini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia dan berpengaruh kepada Partai politik, karena munculnya kader partai yang dipublikasi melalui media masa sebagai tersangka korupsi, membuat isu negatif bagi partai dan berpengaruh terhadap keberpihakan rakyat kepada partai.
   
Beberapa aktor partai menilai bahwa pemberitaan media tidak proposional dan dianggap memojokkan partai tertentu, karena menganggap bahwa hanya kader partai “mereka “saja yang dipublikasikan, sedangkan kader partai lain yang juga melakukan hal serupa kurang mendapat perhatian dan terhindar atau sengaja tidak dipublikasikan.

Dalam sebuah literatur, pernah disampaikan bahwa demokrasi akan efektif, bila penghasilan perkapita penduduk, minimal mencapai US $ 4.500 pertahun.   Namun Indonesia sebagai negara ke 4 terbesar jumlah penduduknya dengan pendapatan penduduk berada pada level US $ 3.592, pada tahun 2012, seperti yang disampaikan pada pidato presiden republik indonesia 
pada penyampaian keterangan pemerintah 
atas 
rancangan undang-undang 
tentang 
anggaran pendapatan dan belanja negara (rapbn) tahun anggaran 2014 
beserta nota keuangannya 
di depan rapat paripurna dewan perwakilan rakyat republik indonesia
, 16 agustus 2013. 

Sistem pemilu dibeberapa negara diterapkan secara berbeda, ada yang menerapkan sistem distrik, atau sistem seimbang, masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan.   Di Indonesia dengan penerapan sistem seimbang, karena diikuti oleh banyak partai, menyebabkan para pimpinan Parpol menjadi penguasa, karena dapat menentukan wakil mereka di lembaga Legislatif, sehingga setiap kader berusaha menjadi dekat dengan pimpinan partai, dan dengan segala cara digunakan untuk dapat terpilih menjadi anggota parlemen.  

Dalam pemerintahan yang menerapkan sistem demokrasi, partai politik berupaya untuk menjadi partai pemenang agar dapat menjadi partai penguasa baik di Legislatif maupun eksekutif.   Masalah yang perlu menjadi perhatian adalah partai menganggap bahwa kekuasaan menjadi tujuan, sehingga setelah berkuasa, mereka menempatkan kadernya pada pos-pos yang dianggap paling menguntungkan dalam perolehan finansial, agar melalui "pengelolaan anggaran" mulai dari hilir ke hulu, dapat menghasilkan keuntungan yang dapat memberikan dukungan dana kepada partainya.   

Dalam kasus ini, sangat mungkin terjadi deal bagi siapapun yang ditempatkan pada posisi “basah” agar dalam waktu tertentu baik secara insidentil maupun berkala dapat menyetorkan sejumlah dana bagi operasional partai.   Karena partai menganggap bahwa tujuan telah tercapai, maka dalam pengabdiannya tidak ditujukan kepada rakyat sebagai pendukungnya, tetapi lebih meng-utamakan kepantingan kelompok dan kepentingan pribadi dan hal inilah yang menyebabkan munculnya banyak kasus korupsi yang melibatkan kader partai.
Dalam kasus keluhan Partai tertentu atas banyak kadernya yang tersangkut korupsi dan dipublikasikan secara “berlebihan”, menjadi relevan dengan sistem demokrasi yang dijalankan, karena sebagai pemenang, mereka berhak dan memilih pos mana saja yang dianggap dapat dikelola yang dapat menghasilkan banyak dana dan karena merasa sudah mencapai tujuan, para kader yang menduduki pos “basah” tersebut harus melakukan kewajiban-nya, namun proses pengumpulan dana tersebut “melampui” kebutuhan partai dan cenderung memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi atau paling tidak untuk kelompok kecil yang mengakibatkan ketaatan terhadap aturan , kecermatan dalam pengelolaan program dan anggaran dikesampingkan yang berakibat kepada terjadinya kasus korupsi dan proses hukum.  

Para kader partai yang ingin duduk pada pos-pos terpilih, berusaha denganmenggunakan berbagai cara, termasuk mungkin dengan mengguna-kan kekuatan finansial.  Para kader atau individue yang dipilih oleh partai menjadi calon Gubernur, Bupati dan Walikota, kontestan minimal membutuhkan biaya kampanye partai diatas 25 Milyar.   Maka sangat layak pada saatnya setelah duduk diposisinya,  mereka berfikir untuk mengembalikan modal, sehingga korupsi memang menjadi suatu yang tidak terhindarkan, karena ada dua kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu mengembalikan modal dan menyetor kepada partai, sebagai bagian dari “deal” sebelum duduk dijabatannya. 

Banyaknya kader partai yang terjerat kasus korupsi, dihadapkan dengan kebebasan pers yang berlaku saat sekarang, menyebabkan setiap kasus akan dipublikasikan melalui media dan dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat dengan mudah melalui berbagai media, karena sebagian besar masyarakat telah memanfaatkan teknologi.   Masyarakat yang semakin pandai sudah dapat menilai bahwa partai tertentu yang kadernya tersangkut korupsi, sebenar-nya hanya mementingkan pribadi dan golongannya, kepentingan rakyat bukan menjadi prioritas utama, akan ditinggalkan oleh konstituennya yang berarti  dukungan rakyat berkurang dan    berpengaruh  kepada elektabilitas Partai.

Pada tahun 2014, pemilu akan digelar pada bulan April, akan tetapi, hampir semua partai hanya berbicara bagaimana meraih kemenangan yang berarti memperoleh kekuasaan.   Beberapa memang menyatakan harapannya agar setelah pemilu, akan terjadi perbaikan disegala bidang, meskipun mereka tidak pernah berfikir bahwa seharusnya hal tersebut yang menjadi tujuan, sedangkan “kekuasaan” hanyalah sarana yang perlu direbut agar kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dapat dicapai melalui berbagai program yang “tidak” hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan.






Tidak ada komentar: