HUBUNGAN SIPIL MILITER
(CIVIL MILITARY RELATIONS)
Hubungan sipil militer, merupakan istilah politik yang telah berkembang menjadi ilmu pengetahuan. Sebelumnya pengetahuan dan teori tentang hubungan sipil militer hanya dipelajari dan dikembangkan di negara liberal dan negara- demokrasi yang relatif sudah maju dan politik sudah demikian mantabnya, sehingga pengertian hubungan sipil militer diartikan sebagai bentuk implemanetasi supremasi sipil. Pandangan dan pemikiran tentang hubungan sipil dan militer, tidak hanya berkembang di Indonesia namun secara global dibicarakan oleh pakar-pakar politik dan militer yang mengaitkannya dengan proses demokratisasi dan dampak yang diakibatkan oleh proses tersebut. Dibeberapa perguruan universitas terkemuka, Hubungan sipil militer menjadi sebuah cabang/jurusan kuliah tersendiri yang diwadahi dalam central of civil military relationship
Dinegara-negara yang menerapkan pemerintahan Demokrasi, hubungan sipil militer merupakan implementasi supremasi sipil. Huntington dalam tulisannya yang dikutip oleh buletin Litbang Kemhan juga mengupas tentang supremasi sipil (civilian supremacy) atau kontrol sipil obyektif (objective civilian control), menyatakan bahwa supremasi sipil diartikan sebagai upaya untuk meminimalkan intervensi militer dalam kegiatan politik, dalam arti lain bahwa militer mengakui otoritas sipil dalam merumuskan dan mengawasi implementasi kebijakan di bidang pertahanan. Mengurangi intervensi militer terhadap politik praktis dengan meningkatkan profesionalisme militer dengan tetap memberikan hak otonomi militer atas organisasinya sendiri. Pengabdian militer kepada negara merupakan konsekuensi atas tugas sesuai profesinya sebagai alat negara yang dilandasi dengan profesionalitas militer dalam tugas pokoknya. Di negara-negara yang kesadaran masyarakat atas tanggungjawab profesinya sudah demikian melekat, militer sepenuhnya berada di bawah kendali sipil, dengan pemahaman bahwa dominasi militer atas sipil dalam politik, bertentangan dengan sistem pemerintahan demokrasi.
Hubungan Sipil Militer diberbagai Negara. Setiap negara di mana hubungan sipil-militer sudah berlangsung dengan baik, biasanya politisi mengontrol militer melalui sistem pertanggungjawaban, dan kontrol terhadap politisi dilakukan oleh masyarakat melalui cara yang sama. Meskipun terdapat pembagian tanggung jawab dan sebuah pemerintahan sudah cukup mapan, tetapi kontrol yang sesungguhnya masih belum terlaksana secara efektif. Kunci utama kepemimpinan sipil terhadap militer adalah mekanisme akuntabilitas, dengan mekanisme akuntabilitas yang sudah berjalan dengan baik dan efektif, maka kontrol akan menjadi baik dan efektif pula. Kepemimpinan sipil terhadap militer tidak boleh diartikan hanya menjadi perisai terhadap kemungkinan kudeta, tetapi sebagai usaha mengelola sebuah pemerintahan yang memberikan legitimasi dan koridor terhadap semua aktor yang berkepentingan dalam masyarakat. Meskipun pemerintah menetapkan batasan-batasan dalam keputusan dan tindakan para pejabat militer, namun kontrol atas tanggungjawab dalam melaksanakan tugas pokok merupakan konsep yang memberikan kontrol sesungguhnya atas keputusan dan tindakan para politisi dan pimpinan militer.
Pemikiran dalam melihat hubungan sipil – militer, meninjau beberapa perma-salahan yang dapat dijadikan sebagai penilaian yaitu : Pertama, dalam hubungan sipil-militer yang terjadi adalah ‘masalah praetorian, seperti pendapat Samuel Huntington, (1991: 231) “perlunya mengekang kemampuan politik militer“. Setelah berhasil membatasi kekuasaan politik militer, pemerintah negara-negara demokrasi liberal dan demokrasi baru harus berkonsentrasi pada perlunya mengawasi dan mengelola hubungan sipil-militer. Kedua, Pemerintahan demokrasi liberal berpendapat bahwa karena militer merupakan organisasi bersenjata yang disiplin , maka dapat menjadi potensi yang mengancam kebebasan. Sebaliknya, karena ketidakdisplinan militer, juga menjadi potensi yang dapat menimbulkan kerusakan dalam masyarakat. Dengan keadaan seperti itu, maka perlu ada jaminan agar militer sebagai organisasi bersenjata yang disiplin, tetap menjalankan fungsinya menjaga kedaulatan Negara dan mencegah intervensi militer terhadap politik dengan sikap yang tidak disiplin, petualangan, yang menjadi ancaman bagi pemerintah yang demokratis atau terhadap warga negara. Ketiga Seperti pendapat M. Howard, (1957), tentang bagaimana melindungi militer agar tidak terjerumus kedalam peran ganda tentara antara tunduknya angkatan bersenjata di bawah pemerintahan politik dan kontrol pemerintah atas ketundukan tersebut. Yaitu mencegah militer menjadi alat kekuasaan demi melanggengkan kekuasaan politik sipil, yang menyebabkan militer keluar dari tugas pokoknya sebagai alat Negara. Keempat adanya permasalahan hubungan antara para pakar militer dengan Menteri Pertahanan. Seperti pendapat Samuel Huntington, (1991:20). Tentang “bagaimana Menteri Pertahanan bisa mengontrol militer jika ia tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang kredibel untuk menjalankan tugas dan wewenangnya” Fungsi kontrol akan menjadi lemah apabila keputusan Menteri merupakan hasil pemikiran para jenderal Militer. Untuk mengatasi hal ini Menhan bisa saja mengambil staf ahli (whizz kids) di luar lingkungan militer. Permasalahan yang timbul adalah, bagaimana militer akan patuh dengan kebijakan Menteri sementara keputusan menteri tidak melibatkan sama sekali pendapat militer. Permasalahan tersebut saling berkaitan dan tidak dapat membantu memperbaiki hubungan sipil-militer. Pertimbangan yang lebih menguntungkan adalah jika yang ingin dicapai adalah kepentingan bersama, maka pihak militer tetap dilibatkan dalam menyusun kebijakan yang berhubungan langsung dengan otonomi militer. Pertimbangan ini memberi peluang kepada kontrol sipil terhadap militer lebih baik dengan tetap memberi peran kepada pimpinan militer dalam keterlibatannya dalam kebijakan yang akan diterapkan, karena pada dasarnya para pimpinan militerlah yang paling memahami bagaimana kondisi organisasinya.
Hubungan Sipil Militer di Indonesia. Dalam beberapa dekade, Indonesia mengalami pola hubungan sipil militer dengan dominasi militer selama Orde Baru yang ternyata tidak dapat mengembangkan alam demokrasi yang positif. Namun demikian, pandangan ini belum diterima oleh keseluruhan para pimpinan militer. Sikap pimpinan militer yang menolak pandangan ini, ternyata justru mempertajam persepsi negatif dari fihak sipil terhadap militer yang memunculkan anggapan bahwa keberadaan militer hanya akan menjadi sebuah ancaman bagi pemerintahan yang demokratis.
Militer sebagai bagian dari masyarakat Indonesia atau bagian warga negara merupakan alat negara dan oleh karenanya sikap militer harus melaksanakan kebijakan pemerintah sebagai keputusan pemimpin politik. Sebagai amanat dari kedaulatan rakyat, pemberian otonomi kepada militer dari pimpinan politik sipil, ada beberapa kalangan berpendapat bahwa kondisi ini akan memberikan peluang kepada militer untuk tidak bertanggung jawab dan menghindar untuk bersikap tunduk pada kepemimpinan sipil. Pihak militer beralasan, kalau militer tunduk pada pemimpin sipil, maka yang terjadi adalah politisasi militer, dimana militer dimanfaatkan oleh penguasa politik/sebagai alat kekuasaan, yang akan mengganggu statusnya sebagai alat negara yang melindungi kedaulatan negara. Oleh karenanya militer lebih menghendaki hubungan yang bersifat kesetaraan (equal relationship), tidak ada yang menguasai dan dikuasai, tidak ada ordinat dan subordinat.
Belum jelasnya pola hubungan sipil–militer di Indonesia, masih memunculkan kerawanan dan terjadi persaingan tidak sehat antara sipil dengan militer. Hubungan sipil-militer pada akhirnya membutuhkan harmonisasi dalam kesetaraan “proporsional” yang disepakati melalui supremasi sipil, dimana militer harus profesional di bidangnya dan sipil turut serta berpartisipasi dalam mengelola pertahanan dengan bersama-sama membangun model hubungan sipil-militer yang harmonis di Indonesia guna kepentingan bersama dan membangun Indonesia baru dalam pemerintahan demokrasi serta diakui oleh masyarakat internasional.
Pandangan Kemhan yang diterbitkan dalam Buletin Balitbang (2007) menyatakan bahwa upaya membangun format baru hubungan sipil-militer dalam masyarakat demokratis memerlukan landasan yang lebih fundamental, kriteria penting yang harus dipenuhi adalah terbentuknya pemerintahan demokratis melalui legitimasi berdasarkan Peraturan perundang-undangan, akuntabilitas publik dalam pemberian otonomi militer dalam kebijakan personel, penentuan tingkat kekuatan, masalah pendidikan dan doktrin militer.
Pandangan Sayidiman Suryohadiprojo (2007) tentang hubungan sipil militer di Indonesia mengingatkan agar Indonesia tidak mengadopsi murni civilian supremacy yang dianut dunia barat, karena adanya supremasi satu golongan terhadap golongan lain tidak sejalan dengan Pancasila dan berpeluang menjadi alasan pertentangan. Meskipun demikian, organisasi militer sebagai alat negara, berkewajiban untuk menjalankan keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Lebih lanjut Sayidiman berpendapat bahwa tanpa harus mengadopsi istilah supremasi sipil, militer akan menyesuaikan dengan alam demokrasi, dengan sadar patuh kepada Pemerintah, siapapun yang duduk dalam pemerintah itu, selama pemerintahan tersebut dilegitimasi melalui hasil pemilu yang syah. Namun sesuai dengan jati dirinya, TNI sebagai tentara Nasional, yang menjunjung tinggi politik negara, berkewajiban dan memiliki hak, sebagaimana hak yang dimiliki oleh profesi lainnya untuk menyampaikan pendiriannya kepada Pemerintah sekalipun mungkin pendirian itu berbeda dari pandangan Pemerintah. Militer harus selalu berpedoman kepada politik negara yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, Sapta Marga serta Sumpah Prajurit. Selama pemerintah dalam menjalankan tugasnya tetap berpedoman kepada Pancasila dan UUD 1945, militer akan patuh kepada pemerintah, sebagai organisasi militer profesional, sikap patuh militer sebagai kapasitas melaksanakan dan mengelola tugas pokoknya dengan tetap mengedepankan kepentingan rakyat, bersama-sama dengan kekuatan sosial lainnya mendorong terwujudnya demokrasi di Indonesia.
Pendapat Samuel P.Huntington dalam karyanya The Soldier and the State; the Theory of Civil - Military Relations, tentang kontrol sipil obyektif, yang dikutip Yusa Djuyadi (2010) diyakini dalam pengertian kontrol sipil yang obyektif, kekuasaan militer akan diminimalkan, tetapi tidak dilenyapkan sama sekali, sebagai salah satu cara untuk meningkatkan profesionalisme di kalangan militer. Untuk kepentingan tersebut, maka kondisi hubungan sipil - militer di Indonesia pasca pemerintahan Orde Baru diarahkan untuk menciptakan sebuah pola hubungan sipil - militer yang seimbang dan terkendali. Landasan berfikir Huntington inilah yang kemudian juga dijadikan alasan untuk mengurangi kekuatan militer dari politik praktis dan hanya menempatkan TNI berdasarkan fungsi dan tugas utamanya sebagai alat negara.
Meskipun TNI secara sadar telah menempatkan diri sebagai alat pertahanan negara dan pemerintahan sipil mempunyai hak untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan bidang pertahanan, guna menata hubungan sipil militer yang harmonis dan demokratis, pemerintah harus menyusun program secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang ada, sebagai bentuk pemahaman sipil atas masalah-masalah pertahanan dan masalah militer. Politisi sipil, agar dapat diakui dan dipercaya dalam urusan pertahanan, harus dapat meningkatkan keahlian (expertise), untuk dapat memahami seluk beluk pertahanan negara dan organisasi militer, sehingga perumusan kebijakan pertahanan dilegitimasi oleh fihak militer.
Keterlibatan pemerintahan sipil dalam merumuskan dan mengelola bidang pertahanan, harus tetap memberi otonomi kepada militer dalam menyelenggarakan dan mengatur organisasinya, demi tercapainya profesionalisme dan kemampuan melaksanakan tugas pokoknya. Dalam semangat demokrasi dengan memper-timbangkan keharmonisan hubungan sipil – militer, campur tangan sipil dalam menyiapkan agenda dan kebijakan dalam bidang pertahanan, tidak boleh mengintervensi terlalu jauh ke dalam organisasi militer. Sebaliknya, bagi militer juga tidak mencari peluang dan kesempatan untuk mencampuri urusan pemerintahan dan secara sadar patuh terhadap kebijakan pemerintah dan menghormati proses demokrasi.
Hubungan sipil militer yang diharapkan yaitu hubungan sipil militer yang dibangun dengan semangat kesetaraan, kebersamaan, saling mengisi sebagai pendorong semangat untuk mempertahankan Indonesia dan meningkatkan daya saing pada era globalisasi. Dalam mencari dan merumuskan hubungan baru Sipil-Militer yang harmonis dibutuhkan kemauan dan semangat dari semua komponen bangsa dalam sikap mental yang saling menghormati dan menghargai dan bekerja sama untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis.
Keterlibatan otoritas sipil dalam sektor pertahanan perlu didukung dengan sejumlah keahlian, karena keahlian dari kalangan sipil sangat menentukan kualitas kebijakan yang akan dihasilkan dalam sektor pertahanan, yang sangat berbeda dengan perumusan kebijakan di sektor-sektor lain. Keahlian dalam sektor pertahanan juga dapat menentukan kualitas hubungan sipil - militer yang harmonis. Oleh karena itu otoritas sipil perlu memahami seluk beluk tentang dunia pertahanan dan militer agar kebijakan yang dirumuskan tidak mendapat pertentangan atau penolakan dari fihak militer. Sangat penting bagi pemerintah atau politik sipil untuk menjaga konsistensi pelaksanaan reformasi TNI, salah satunya adalah mencegah politisi sipil melibatkan militer secara aktif dalam berbagai aktivitas politik praktis. Sikap politisi sipil yang melibatkan kalangan militer dalam dunia politik praktis dapat membawa militer kepada keinginan untuk meraih kekuasaan yang pernah mereka rasakan ketika masa Orde Baru.
Meskipun militer saat ini berada dalam sebuah iklim yang demokratis, ternyata permasalahan masa lalu menjadi pertimbangan sebagian politisi, sehingga keberadaan militer di Indonesia saat ini dibatasi oleh sistem dan regulasi yang secara sengaja disusun untuk membatasi peran, operasional, anggaran, alut sista dan profesionalisme militer, sebagai akibat pola pikir sipil yang tertanam sebagai bentuk “ dendam masa lalu” pada sekelompok aktor maupun institusi yang merasa terpinggirkan dan merasa dalam tekanan pada waktu sebelumnya. Sikap ini memperlihatkan indikasi yang mengarah kepada sebuah sasaran yaitu menjauhkan militer dengan rakyat, dengan mempertimbangkan bahwa kedekatan TNI dengan rakyat, akan berpengaruh besar terhadap peran politik TNI, yang sangat dihindari di era demokrasi. Keadaan ini yang menyebabkan militer masih terganggu oleh keraguan dalam melakukan aktivitas dilingkungan masyarakat.
Dengan pandangan tersebut diatas, penataan hubungan sipil-militer yang demokratis sebaiknya dikelola dengan: (1) melibatkan sipil dalam pengelolaan kebijakan di bidang pertahanan; (2) Hubungan sipil-militer yang harmonis dibangun dalam kerangka demokrasi dengan semangat saling percaya dan kemauan bekerja sama guna membangun Indonesia; (3) Seluruh komponen bangsa baik sipil maupun militer berdampingan dan saling menghormati profesi masing-masing; (4) Mencegah suasana saling curiga antar sipil dan militer dan menghilangkan sikap merasa lebih atau superior dalam pengabdian terhadap nusa dan bangsa.
Meskipun hubungan sipil militer cenderung berlaku pada tingkat kebijakan, namun dalam implementasinya, sangat berpengaruh kepada aktivitas militer ditingkat bawah. Berbagai regulasi yang membatasi peran dan operasional militer, alokasi anggaran yang terbatas, menyebabkan interaksi satuan-satuan militer didaerah dengan masyarakat menjadi terbatas, profesionalisme militer menjadi menurun karena logistik latihan yang sangat terbatas dan sarana prasarana yang belum terdukung, termasuk salah satunya adalah dukungan kegiatan bagi komando kewilayahan yang sangat minim, yang tidak memungkinkan untuk dapat menopang pembiayaan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar