Rabu, 24 Oktober 2012

Strategi dengan Tujuan terbatas atau perang berlarut



Strategi dengan tujuan terbatas dalam penerapannya, adalah untuk mencari peluang,  untuk mencapai terjadinya keseimbangan kekuatan, sehingga pasukan yang lebih lemah menerapkan strategi dengan tujuan terbatas dengan melakukan berbagai aksi memecah belah kekuatan musuh.   Melemahkan musuh dengan menusuk posisi-posisi musuh yang lemah, tidak mengerahkan kekuatan yang besar tetapi dilakukan secara terbatas tetapi dilakukan secara terus menerus, setiap saat dan tak terduga, serta dilakukan dari segala arah.

Serangan sporadic, mengambil sasaran diposisi yang lemah, dilakukan pada waktu dan tempat yang tak terduga, serangan dikendalikan dapat muncul dari segala arah, diarahkan untuk menguras tenaga musuh.   Aksi serangan yang dilakukan melalui pola dan taktik serangan diberbagai tempat secara  sporadis adalah untuk memecah konsentrasi kekuatan musuh, menciptakan situasi dengan membalik kadaan, merebut inisiatif berada ditangan sendiri.   ( Liddell Hart, 1984, 230-1)   Tidak memberi kesempatan kepada fihak musuh untuk melakukan serangan secara besar-besaran, dengan tidak menduduki posisi secara statis.  Aksi serangan yang ditujukan untuk melemahkan musuh juga dilakukan dengan sasaran penghancuran gudang-gudang logistik musuh, memutuskan jalur transportasi, merusak jaring komunikasi dan sumberdaya musuh lainnya.   Kekuatan militer yang kecil tidak digunakan untuk menghadapi musuh yang besar secara langsung, tetapi setiap saat berusaha membuat korban difihak musuh, korban personel maupun korban materiil dan prasarana musuh.

Strategi ini diterapkan untuk memperoleh ruang dan waktu.   Ruang diciptakan untuk memperoleh kebebasan bergerak disegala arah dan tidak memberi kesempatan musuh untuk mengambil inisiatif.   Front pertempuran dihilangkan, sehingga musuh tidak mengetahui dari arah mana mereka akan mendapat serangan.   Situasi ini akan membuat musuh secara mental selalu tertekan, secara fisik akan menimbulkan kelelahan, karena memaksa musuh untuk selalu bersiaga, dan berusaha untuk tidak lengah.   Sementara kekuatan perlawanan, yang telah memperoleh inisiatif, memilih waktu yang tepat, dengan prinsip, apabila musuh kuat, menghindar, bila musuh siap dibiarkan. 
Tetapi bila musuh lemah, diserang dan dihancurkan , bila musuh lengah sergap.  Intinya menyerang bila yakin menang dan menguntungkan, meskipun tidak semua serangan berharap memperoleh keuntungan, namun diarahkan kepada memporak porandakan komando dan kendali pasukan musuh, tidak memberi kesempatan kepada musuh melakukan konsolidasi dan mengorganisir pasukan.  Setiap kontak senjata, selalu menghindari pertempuran yang menentukan, mencegah musuh menghadirkan bantuan, yang akan menimbulkan kerawanan.  

Penguasaan waktu, untuk memberi kesempatan unsur–unsur lain mempersiapkan kekuatan yang dibutuhkan untuk rencana serangan balas.   Dengan penguasaan waktu, unsur yang mendapat tugas mempersiapkan sarana pendukung perang dapat dengan leluasa memanfaatkan, membangun industri atau mencari bantuan, segala upaya untuk memperkuat militer, termasuk menyiapkan sumberdaya manusia, sebagai kekuatan pengganda.
Indonesia, dengan keadaan militer yang relatif kecil dihadapkan dengan luas wilayah negara, sangat sepaham dengan strategi ini. Akan tetapi Indonesia, meskipun pola yang diterapkan pada perang kemerdekaan terlihat mirip dengan strategi ini,  tetapi dalam prakteknya tidak secara 100%.   Pola peperangan yang diterapkan Indonesia pada masa Agresi Belanda II tahun 1948, mengandalkan kekuatan yang terbatas dan persenjataan yang seadanya dalam melakukan pertempuran,  sebagai strategi dengan tujuan terbatas.   
Aksi serangan kepada musuh, dilakukan dari segala arah, pada saat yang tidak terduga, dan tempat yang tidak diperkirakan.   Segala aksi tersebut diarahkan untuk  menguras kemampuan musuh dan memberi tekanan terus menerus, akibatnya  Belanda saat itu menjadi sangat tertekan, yang menyebabkan secara psikis menurunkan semangat prajuritnya, karena dimanapun mereka berada tidak ada jaminan bahwa posisi mereka terbebas dari ancaman serangan para gerilyawan.  Para prajurit muda Belanda yang berharap dapat menikmati "Paris Van Java" seperti yang dijanjikan,  untuk menghindari cuaca musim dingin yang tidak bakal ditemukan di Indonesia.   Ternyata bukan kehangatan yang diperoleh, tetapi bara api yang membara dari laras tentara Indonesia, yang meruntuhkan mental prajurit Belanda yang tidak berfikir menghadapi situasi tersebut.
            Aksi-aksi yang dilakukan oleh para pejuang Indonesia sangat mirip dengan strategi dengan tujuan terbatas, bahkan Panglima Besar waktu itu mengeluarkan perintah siasat yang berisikan instruksi sebagai berikut [1]:

Terdapat 3 hal utama yang harus dilakukan oleh Militer (TNI) bila terjadi perang :
Pertama, Kota besar dan jaringan jalan raya tidak perlu dipertahankan, karena kekuatan musuh dipastikan lebih besar dan lebih lengkap.
Kedua, Menyusun rencana pengungsian secara total, penyebaran kantong-kantong perlawanan gerilya, dengan pertimbangan perang akan berlangsung secara luas dan waktu yang lama.
Ketiga, Rencana aksi perlawanan pasukan Republik yang telah ditetapkan adalah dengan melaksanakan perang gerilya.
           
Pada penerapan strategi ini, Indonesia sekaligus mengandalkan upaya diplomasi dan mencari dukungan internasional, dengan memanfaatkan segala sarana yang serba terbatas, namun dapat menyebarkan opini yang mendukung Indonesia secara luas.  
Secara khusus serangan balas dengan kekuatan maksimal untuk menghancurkan kekuatan musuh tidak dilakukan karena kondisi kemampuan Negara yang masih lemah, namun serangan secara serentak terhadap posisi musuh telah dilakukan beberapa kali dibeberapa tempat dan yang paling dikenal adalah serangan umum, tanggal 1 maret 1949, yang mencengangkan penduduk dunia, berpengaruh secara internasional, sehingga respon dari Dewan Keamanan PBB, memaksa Belanda untuk bersedia melakukan pertemuan dengan Indonesia, yang menghasilkan kesepakatan agar Belanda menyerahkan  wilayah yang diduduki kepada Indonesia. 
Strategi dengan tujuan terbatas,  telah berhasil diterapkan, paling tidak di Indonesia dan Vietnam, namun juga masih diterapkan diberbagai negara yang kemampuan ekonominya relatif , sehingga penerapan strategi ini cukup membantu pertahanan dan ketahanan negara, seperti yang terjadi di Iraq, Afganistan, Somalia ( meskipun secara spesifik tidak persis sama)


 Hart, Liddell, Strategy, (1984,230-1)
[1] Julius Pour, Doorstood Naar Djogja (2009; 42)

Tidak ada komentar: