SINKRONISASI DOKTRIN
SEBAGAI PEREKAT UNSUR-UNSUR PERTAHANAN NEGARA
1. Pendahuluan. Indonesia telah meninggalkan era otoritarianisme selama tiga belas tahun, namun sampai saat sekarang masih belum menemukan satu rumusan dan agenda kerja yang tepat dan diterima oleh semua fihak dalam mengelola sektor keamanan dan Reformasi Sektor Keamanan. Kondisi tersebut menimbulkan permasalahan besar bagi Indonesia karena penyelenggaraan keamanan nasional seharusnya sudah terlembaga dan berjalan, namun kenyataannya Indonesia masih menghadapi permasalahan yang menyangkut payung hukum, sebagai perangkat legal untuk pedoman penyelenggaraannya.
Proses penataan ulang sistem pertahanan dan keamanan yang berlangsung, membutuhkan pemahaman secara komprehensif, tidak hanya pada strata perangkat payung hukum, tetapi juga pada aspek struktur, kultur dan sistem yang akan menjadi pedoman dalam implementasi. Prosedur dan mekanisme penataan ulang ini, membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang perlunya pembedaan tanggungjawab antara penentu kebijakan pada strata politik dengan strata yang menetapkan sistem penggunaan kekuatan pada pada eselon operasional. Dengan pemahaman tersebut, dalam implementasi sistem pertahanan dan keamanan membutuhkan sumberdaya yang secara mendalam menguasai permasalahan, sehingga didalam sistem pemerintahan demokrasi saat ini, pembagian tugas dan tanggungjawab setiap unsur pelaksana dapat berjalan dengan baik demi mendukung kepentingan nasional. Kondisi tersebut diharapkan dapat mencegah terulangnya sejarah masa lalu, dimana untuk menyelenggarakan sistem keamanan nasional hanya bertumpu kepada kekuatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Seperti yang berlangsung saat ini “ seolah-olah” penyelenggara sistem keamanan nasional hanya diserahkan kepada Kepolisian Negara. Apabila hal ini tidak segera dibenahi akan sulit menempatkan sistem keamanan nasional pada sistem yang benar yaitu adanya keseimbangan dan keterbukaan, sehingga akan terwujud sebuah sistem yang dapat seimbang dalam kontrol, efektifitas dan efisiensi. Pada kenyataannya keamanan nasional bukan hanya menjadi tanggungjawab sektor keamanan saja, tetapi juga lembaga legislatif dan publik dalam fungsi pengawasan.
2. Pembagian tugas dan tanggungjawab dalam proses penataan sistem pertahanan Negara. Presiden adalah otoritas politik sipil yang bertanggungjawab dalam pengelolaan sistem pertahanan negara berkewajiban menetapkan Kebijakan Umum Pertahanan Negara sebagai acuan perencanaan, penyelenggaraan dan pengawasan sistem pertahanan negara. Menurut UU RI No 3/2002 tentang Pertahanan Negara, pasal 13 ayat 1 Undang-undang ini menyatakan bahwa, “Presiden berwenang dan bertanggung jawab dalam pengelolaan sistem pertahanan negara”, pada pasal 13 ayat 2 menyatakan, “Dalam pengelolaan sistem pertahanan negara, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Presiden menetapkan kebijakan umum pertahanan negara yang menjadi acuan bagi perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan sistem pertahanan negara.” Sedangkan pasal 16 ayat 3 menyatakan bahwa Menteri Pertahanan sebagai pembantu Presiden memimpin Departemen Pertahanan, menetapkan kebijakan tentang penyelenggaraan pertahanan negara berdasarkan kebijakan umum yang ditetapkan oleh Presiden.
Apabila mendalami undang-undang pertahanan negara, dapat ditemukan urutan kebijakan pertahanan negara yang saling terkait secara berurutan yaitu Pertama, Pemerintah dalam hal ini Presiden merumuskan Kebijakan Umum Pertahanan Negara dengan melibatkan Dewan Pertahanan Nasional serta Departemen Pertahanan. Kedua, Kebijakan Umum Pertahanan Negara menjadi dasar dan pedoman bagi Menteri Pertahanan untuk merumuskan kebijakan penyelenggaraan Pertahanan Negara yang dalam hal ini disusun buku Doktrin Pertahanan Negara dan kebijakan umum penggunaan kekuatan yang dalam hal ini disusun buku Strategi Pertahanan Negara. Ketiga, Panglima TNI, dengan mempedomani seluruh kebijakan politik tentang pertahanan negara, menyusun dan merencanakan pengembangan strategi-strategi militer.
3. Mekanisme penyusunan doktrin Pertahanan Negara dilakukan secara berjenjang. Penyusunan doktrin pertahanan merupakan proses yang rumit dan membutuhkan berbagai pertimbangan, karena melibatkan banyak kepentingan dan berpengaruh strategis. Definisi paling sederhana, doktrin adalah “suatu ajaran", sedangkan definisi umum tentang Doktrin Militer adalah “prinsip-prinsip dasar yang digunakan oleh militer sebagai pedoman untuk bertindak dalam mencapai tujuan”. Doktrin bersifat menerangkan dan menjelaskan, sedangkan kebijakan bersifat mengarahkan dan menentukan. Doktrin disusun berlandaskan sejarah pengalaman yang bermacam-macam, namun demikian bukan berarti doktrin tidak boleh diubah, karena doktrin berkembang sebagai respon dari perubahan politik atau latar belakang strategi, atau pengaruh dari perkembangan teknologi militer. Oleh karena itu, doktrin mempengaruhi arah yang ditempuh dari kebijakan dan perencanaan yang akan ditetapkan, demikian pula akan mempengaruhi bagaimana kekuatan militer akan diorganisasikan dan dilatih, serta bagaimana cara memperoleh dan melengkapi peralatan yang dibutuhkan.
Perpres No. 41/2010 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara, diharapkan dapat menjabarkan konsepsi pertahanan dalam pengertian ‘Keamanan Nasional’ yang mencerminkan kepentingan dan pelibatan semua stakeholder, tidak hanya bertumpu pada TNI dan Polri saja. Namun proses penyusunan dokumen kebijakan ini masih belum menjelaskan status dan peran Dewan Pertahanan Nasional, dimana sesuai amanat UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara, Pasal 15 ayat 1 dinyatakan bahwa “dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan Presiden dibantu oleh Dewan Pertahanan Negara, yang dalam pasal Pasal 15 ayat 8 dinyatakan bahwa “susunan organisasi dan tata kerjanya diatur lebih lanjut dalam Keputusan Presiden”. Dewan Pertahanan Nasional merupakan penasehat Presiden dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan dan pengerahan segenap komponen pertahanan negara yang dinyatakan pada Pasal 15 ayat 2, dengan tugas yang tertuang dalam pasal 15 ayat 3, “... menelaah, menilai dan menyusun kebijakan terpadu pertahanan negara dan kebijakan terpadu pengerahan komponen pertahanan negara, serta menilai resiko dari kebijakan yang ditetapkan.
Dengan pemahaman sebagaimana yang tertuang dalam uraian diatas, diajukan dua pertanyaan terkait dengan proses penataan ulang sistem pertahanan keamanan di Indonesia yaitu : Pertama, Bagaimana peran pemerintah dalam mendorong berbagai fihak sebagai unsur pelaksana dalam sistem Keamanan Nasional agar memiliki persepsi yang sama terhadap pentingnya keberadaan Payung hukum Keamanan Nasional dan kedua, apa pertimbangan pemerintah belum membentuk Dewan Pertahanan Nasional, sementara UU No 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menuntut pembentukan Dewan ini, karena dengan belum adanya dewan pertahanan nasional, legitimasi Kebijakan Umum Pertahanan Negara kurang optimal.
Mempedomani kebijakan umum pertahanan negara, kementrian pertahanan telah menerbitkan buku Doktrin Pertahanan negara dan strategi pertahanan negara, sebagai doktrin yang difahami sebagai doktrin pada strata strategis. Dengan terbitnya doktrin strategis, secara berjenjang Markas Besar TNI juga telah menyusun doktrin Tri Dharma Eka Karma, sebagai doktrin yang melandasi bagaimana kekuatan TNI digunakan, yang menjadi bagian tugas , wewenang dan tanggung jawab Panglima TNI dalam penggunaan kekuatan, berdasarkan perundangan yang berlaku. Sesuai yang tertuang dalam Undang-undang RI nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) Pasal 7 menyatakan :
(1) Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
(2) Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan :
a. Operasi militer untuk perang ( OMP)
b. Operasi militer selain perang (OMSP), yaitu untuk : mengatasi gerakan separatisme bersenjata; mengatasi pemberontakan bersenjata; mengatasi aksi terorisme; mengamankan wilayah perbatasan; mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis; melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; mengamankan Presiden dan wakil presiden beserta keluarganya; memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; membantu tugas pemerintahan di daerah; membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang; membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan; membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
Berkenaan dengan Pelaksanaan tugas OMSP, terdapat beberapa permasalahan yang perlu menjadi perhatian pemerintah karena Indonesia masih berada pada masa transisi dari negara otoritarian menuju negara demokrasi. Keputusan negara melalui ketetapan MPR No VI /MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri, yang tidak dilandasi oleh pertimbangan yang akurat, telah mengorbankan kepentingan negara dan bangsa, karena pemisahan tersebut tidak didahului dengan pemisahan fungsi pertahanan dan fungsi keamanan, sehingga menimbulkan dampak yang berkepanjangan.
Sebagai tindak lanjut atas ketetapan yang hanya melakukan pemisahan peran dan institusi TNI dan Polri, pemerintah hanya menerbitkan undang-undang Kepolisian dan undang-undang pertahanan. Padahal apabila ketetapan MPR terlebih dulu menetapkan pemisahan fungsi Pertahanan dan fungsi Keamanan, maka harus diterbitkan undang-undang Keamanan dan Undang-undang Pertahanan. Sehingga Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, merupakan implementasi dari amanat Undang-undang Pertahanan Negara dan seharusnya Undang-undang Kepolisian diterbitkan sebagai tindak lanjut "amanat undang-undang Keamanan", namun pada kenyataannya Undang-undang kepolisian, berdiri sendiri dan bukan merupakan kebijakan yang disusun sebagai tindak lanjut dari amanat undang-undang Keamanan.
Sebagai tindak lanjut atas ketetapan yang hanya melakukan pemisahan peran dan institusi TNI dan Polri, pemerintah hanya menerbitkan undang-undang Kepolisian dan undang-undang pertahanan. Padahal apabila ketetapan MPR terlebih dulu menetapkan pemisahan fungsi Pertahanan dan fungsi Keamanan, maka harus diterbitkan undang-undang Keamanan dan Undang-undang Pertahanan. Sehingga Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, merupakan implementasi dari amanat Undang-undang Pertahanan Negara dan seharusnya Undang-undang Kepolisian diterbitkan sebagai tindak lanjut "amanat undang-undang Keamanan", namun pada kenyataannya Undang-undang kepolisian, berdiri sendiri dan bukan merupakan kebijakan yang disusun sebagai tindak lanjut dari amanat undang-undang Keamanan.
Dengan kondisi tersebut, maka timbul opini dimasyarakat, bahkan dipemerintah, bahwa Kepolisian sebagai pelaksana seluruh fungsi Keamanan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebagai pelaksana fungsi Pertahanan (pada strata operasional). “Andai saja” Negara pada waktu proses pemisahan berfikir relevan dengan melakukan pemisahan fungsi pertahanan dan fungsi keamanan, sebelum menetapkan pemisahan TNI dengan Polri, maka akan menjadi jelas bahwa keamanan menjadi otoritas kementerian "tertentu" dan posisi Kepolisian berada dibawah Kementrian " TERTENTU".
Sedangkan fungsi pertahanan pada strata strategis telah terwadahi menjadi tugas kementrian pertahanan dan TNI berada dibawah koordinasi kementrian Pertahanan, sebagai pelaksana fungsi pertahanan negara pada strata operasional. Karena Kebijakan Negara ( dalam hal ini penerbitan Undang-undang) yang kurang relevan, menyebabkan opini publik tergiring seperti yang berlaku sekarang, rakyat dan pemerintah berpandangan bahwa keamanan menjadi domain Polri sedangkan Pertahanan menjadi domain TNI, sehingga menimbulkan kondisi yang sangat merugikan negara.
Akan berbeda hasilnya apabila pemerintah (semenjak awal) menerbitkan Undang-undang Pertahanan dan undang-undang Keamanan, maka rakyat dan pemerintah akan berfikir bahwa keamanan adalah fungsi pemerintah yang harus dilakukan bersama oleh semua institusi pemerintah dengan porsi yang dibagi kepada setiap institusi dan masing-masing institusi bertanggung-jawab sesuai perannya dalam menjaga keamanan, termasuk peran rakyat dalam tugas keamanan. Demikian juga halnya dengan tugas Pertahanan, tidak hanya menjadi domain TNI tetapi menjadi fungsi Negara yang penyiapannya menjadi tugas pemerintah yang harus dilakukan secara dini, setiap institusi mempunyai tanggungjawab dan peran sesuai fungsinya dalam perthanan Negara, termasuk bagaimana keterlibatan rakyat dalam upaya pembelaan Negara.
Seperti halnya dalam tugas keamanan, maka tugas menegakkan kedaulatan Negara, menjaga keutuhan wilayah dan melindungi keselamatan bangsa, diselenggarakan oleh semua institusi sesuai peran, tugas dan fungsinya termasuk peran serta rakyat, yang secara legalitas telah dipayungi oleh Peraturan Presiden nomor 41/2010, tentang Kebijakan umum Pertahanan Negara. Sehingga pada saatnya Negara ingin menyusun Undang-undang Keamanan Nasional, semua fihak “ pasti “ akan mendukung, dan mungkin saat ini Dewan Keamanan Nasional telah terbentuk dan berkarya dengan menyelesaikan berbagai permasalahan negara.
Nasi telah menjadi bubur, apabila ingin menyelaraskan, maka harus mulai dari proses awal, yang tentunya akan menghadapi banyak “halangan dan rintangan”.
Apabila mempelajari kepentingan dan tujuan doktrin, TNI membutuhkan paling tidak 15 Doktrin OMSP yang menjadi landasan bagi penyusunan doktin pada level dibawahnya.
Permasalahan yang dihadapi TNI untuk melaksanakan tugas OMSP, adalah karena adanya pembatasan yang sangat mengikat terhadap Presiden dalam mengerahkan kekuatan dan terhadap Panglima TNI dalam penggunaan kekuatan TNI , karena pengerahan dan penggunaan kekuatan hanya dapat dilakukan “berdasarkan kebijakan dan keputusan politik Negara” yang dalam kasus ini, proses pengambilan kebijakan dan keputusan politik Negara ini belum mempunyai wadah/ lembaga yang menjadi pusat mekanisme pengambilan keputusan. Harapannya dengan diundangkannya “ Keamanan Nasional” akan terbentuk Dewan Keamanan Nasional yang menjadi lembaga yang menjadi pusat mekanisme penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan politik negara. Dalam pemahaman tersebut diatas, maka saat ini TNI hanya dapat menyiapkan doktrin sebagai pedoman melaksanakan tugas apabila suatu saat menerima perintah dari Presiden yang berwenang mengerahkan kekuatan TNI.
Berkaitan dengan permasalahan yang tertuang diatas, pertanyaan yang timbul adalah : Bagaimana sikap pemerintah dalam merespon keadaan tersebut, agar proses penetapan kebijakan dan pengambilan keputusan politik Negara dapat berlangsung dan dilegitimasi oleh semua fihak dan memberikan kemudahan kepada Presiden dalam mengerahkan kekuatan pertahanan dan memberi peluang kepada Panglima TNI untuk menyusun dan menerapkan Strategi dalam penggunaan kekuatan pertahanan dalam hal ini kekuatan TNI.
Sebagai tindak lanjut penataan doktrin, setelah diterbitkannya Doktrin TNI , maka masing-masing Angkatan bertanggungjawab menyusun doktrin pembinaan kekuatan yang memuat tugas dan tanggung jawab agar kekuatan yang akan digunakan dan dibutuhkan TNI dalam melaksanakan tugas pokoknya dapat terdukung, sehingga substansi doktrin Angkatan adalah bagaimana wewenang pembinaan yang diterima dari Panglima TNI dalam menyiapkan kekuatan dapat terlaksana dengan baik dan setiap matra mampu mendukung dan melaksanakan tugas yang mungkin akan diberikan oleh TNI dalam melaksanakan tugas pertahanan negara dan tugas lain yang dibebankan.
Penyusunan doktrin di tingkat Markas Besar Angkatan, selain mempedomani Doktrin yang telah diterbitkan TNI, juga tetap memperhatikan tugas spesifik yang berlaku bagi setiap Angkatan. Kepala Staf Angkatan Darat dengan mengacu kepada tugas pokok yang tertuang dalam Doktrin TNI, menyusun doktrin Kartika Eka Paksi (KEP), yang akan menjadi pedoman bagi jajaran Angkatan Darat dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab dibidang masing-masing.
Angkatan Darat, seperti halnya organisasi yang setingkat, memiliki persyaratan tertentu untuk dapat melaksanakan tugas pokoknya yang kompleks dengan berhasil, disamping dituntut mampu melaksanakan OMP juga harus mampu melaksanakan OMSP. Untuk berhasil dalam tugas, Angkatan Darat harus memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan keadaan dan dapat bertahan dalam berbagai situasi. Prajurit Angkatan Darat secara perorangan atau Organisasi, harus mampu melaksanakan tugas pada masa damai maupun pada masa perang, sebagai bentuk kemampuan adaptasi dalam menghadapi perubahan keadaan.
Tugas pokok Angkatan Darat akan mencapai keberhasilannya apabila ditunjang oleh kesiapan prajurit yang telah dilatih dan disiapkan untuk menghadapi berbagai tugas yang mungkin dihadapi. Untuk menghadapi berbagai situasi, perlu diajarkan doktrin, sehingga dalam keadaan yang tidak stabil, setiap orang dalam organisasi sudah mampu melakukan tugas tanpa harus terlalu banyak menunggu perintah dan pengarahan. Setiap awak dalam organisasi harus memahami tugas masing-masing untuk mendukung operasional organisasinya. Agar tugas –tugas awak organisasi dapat dikuasai sesuai dengan standarnya, diperlukan panduan yang teliti dan berlaku seragam, sehingga dalam menghadapi satu jenis situasi, dimanapun dilakukan, pola tindakan yang diterapkan sama.
Kemampuan dan Ketrampilan prajurit dalam menghadapi tugas operasi tidak dapat dilakukan secara instan, sehingga sebagai bentuk kepedulian atas tugas dan tanggungjawabnya, TNI dan unsur-unsurnya secara bertahap telah menyiapkan kekuatannya untuk menghadapi kemungkinan melaksanakan tugas yang dibebankan oleh Negara, dengan mempedomani doktrin yang berlaku dilingkungan matra dan gabungan. Karena dengan mempertimbangkan kemungkinan tugas yang akan dihadapi pada masa depan yang waktunya tidak dapat diramalkan, kemampuan dan ketrampilan telah disiapkan semenjak awal. Kemampuan dan ketrampilan yang sudah dimiliki juga tetap dipelihara dan dipertahankan, agar sewaktu-waktu tugas dari negara diterima, setiap prajurit dalam organisasi telah siap menghadapinya. Permasalahan yang timbul dari keadaan ini bahwa karena faktor pembatasan yang dituangkan dalam undang-undang, Militer belum diperankan oleh negara, sehingga pemahaman dan kemampuan melaksanakan tugas pokoknya, tidak dapat diuji, apakah kemampuan dan ketrampilan yang dimiliki benar dapat menunjang tugas pokok secara optimal, atau membutuhkan evaluasi lebih lanjut untuk meningkatkan daya dukungnya terhadap pelaksanaan tugas pokok setiap kecabangan/satuan.
Menyimak permasalahan diatas, muncul pertanyaan kepada pemerintah terkait dengan peran dan penugasan TNI yaitu : Apa pertimbangan pemerintah tidak memberikan peran dan penugasan kepada TNI untuk mengatasi berbagai permasalahan yang memungkinkan melibatkan kemampuan TNI dan Apakah pemerintah hanya akan menjadikan TNI sebagai “ pemadam kebakaran”, padahal kemampuan TNI dalam melakukan pencegahan terhadap berbagai permasalahan Negara telah disiapkan ?”
4. Kesimpulan. Proses penataan ulang sistem dan Sinkronisasi doktrin berkaitan dengan pertahanan keamanan, membutuhkan mekanisme yang tepat dan pemahaman yang mendalam dari setiap unsur yang terlibat didalamnya. Dari uraian naskah diatas diperoleh beberapa pemahaman atas sistem pertahanan keamanan yang berlaku di Indonesia dan menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
a. Proses penyusunan dan penerbitan Kebijakan Umum Pertahanan Negara, masih belum seutuhnya mengikuti amanat Undang-undang, karena dalam penyusunannya belum melibatkan Dewan Pertahanan Nasional, bahkan Dewan Pertahanan Nasional belum terbentuk.
b. Reformasi sektor keamanan, sebagai konsekuensi berlakunya sistem pemerintahan demokratis, menghendaki adanya pembedaan wewenang dan perlunya pembagian tugas kepada setiap pemangku kepentingan dalam mengatasi berbagai permasalahan negara. Pada kenyataannya sistem keamanan Nasional belum terlembagakan dan belum dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Permasalahan masih terhenti pada proses penusunan payung hukum sebagai dasar pelaksanaan sistem. Bila permasalahan ini tidak segera diselesaikan, kondisi Indonesia akan kembali kepada masa lalu dimana permasalahan keamanan Nasional hanya bertumpu kepada satu Institusi yaitu Polri, hampir sama seperti yang berlaku pada masa orde baru dimana semua permasalahan bertumpu kepada ABRI.
c. Pemerintah belum dapat menghilangkan pembatasan terhadap peran dan penugasan yang melibatkan TNI, sementara TNI telah mempersiapkan unsur-unsurnya untuk mendukung tugas pemerintah dalam mencegah dan mengatasi berbagai permasalahan Negara.
5. Rekomendasi. Dengan mempertimbangkan kesimpulan yang disampaikan diatas, diajukan rekomendasi sebagai berikut :
a. Agar Pemerintah segera menerbitkan peraturan pemerintah yang mengatur pembentukan Dewan Pertahanan Nasional, sehingga proses penyusunan Doktrin mulai dari tingkat strategis telah dilegitimasi sesuai perundangan yang berlaku.
b. Agar pemerintah mendorong semua stakeholder memandang kebutuhan Negara atas Sistem Keamanan Nasional sudah sangat mendesak, sehingga Undang-undang Keamanan Nasional dapat segera diterbitkan.
c. Pemerintah agar melakukan review atas pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan dengan menerbitkan undang-undang keamanan “sebagai pedoman penerbitan undang-undang keolisian negara” sehingga dapat memberi jalan kemudahan terbitnya undang-undang Keamanan Nasional dan dapat segera membentuk Dewan Keamanan Nasional, agar pembatasan peran, penugasan dan postur TNI dapat teratasi dan kemampuan TNI dapat dilibatkan secara optimal dalam membantu mengatasi dan mencegah terjadinya berbagai permasalahan Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar