PENERAPAN EMPAT PILAR BERBANGSA DAN BERNEGARA
UNTUK MEWUJUDKAN WAWASAN KEBANGSAAN DAN NASIONALISME
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MASIH MENGHADAPI TANTANGAN
Oleh : Kol. Inf Juanda Sy, M.Si (Han)
UNTUK MEWUJUDKAN WAWASAN KEBANGSAAN DAN NASIONALISME
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MASIH MENGHADAPI TANTANGAN
Oleh : Kol. Inf Juanda Sy, M.Si (Han)
1. Pendahuluan. Pancasila merupakan landasan yang menjiwai perumusan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia sebagaimana termuat dalam Pembukaan Undang-undang dasar 1945. Penerapannya dalam kehidupan bangsa Indonesia, diharapkan menjadi wujud dari nilai-nilai kesatuan dan persatuan, kekeluargaan dan kebersamaan yang menjadi pedoman dalam pola sikap, pola pikir dan pola tindak setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada kenyataannya belum semua warga negara dapat mene-rapkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari baik dalam berfikir, bersikap dan bertindak, bahkan tidak jarang justru bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Pembentukan Negara Indonesia oleh para pendahulu, menempatkan dua visi yang saling berkaitan yaitu visi pertama adalah integrasi, yang dituangkan dalam lambang negara yaitu bhineka tunggal ika, yang menghendaki agar dalam pengelolaan negara, tetap memelihara identitas dan warisan kultural etnik dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini juga secara eksplisit dituangkan pada pasal 18, 32 dan pasal 36 Undang-undang Dasar 1945. Visi kedua adalah Asimilasi, sebagai bentuk menyatunya setiap individu warga negara dengan etnis yang berbeda-beda, kedalam satu bangsa Indonesia yang didukung oleh deklarasi Sumpah Pemuda tahun 1928 dan juga dituangkan pada pasal 1 dan pasal 27 Undang-undang Dasar 1945.
Nasionalisme menurut Bung Karno[1] adalah "kesadaran bahwa tiap-tiap anggota bangsa adalah bagian dari suatu bangsa yang besar, yang berkewajiban mencintai dan membela negaranya, dan setiap anggota bangsa perlu menyadari bahwa harus mempunyai rasa tanggungjawab sebagai satu bangsa yang merdeka dan berdaulat, harus sadar bahwa mereka memiliki harga diri, martabat, kedudukan, tanggungjawab atas masa depan bangsa. Setiap saat dia juga siap membela kepentingan bangsa dan negaranya, serta siap pula berkorban demi kelangsungan hidup, keutuhan dan kebesaran bangsanya".
Dalam era globalisasi, nasionalisme di Indonesia menghadapi tantangan yang berada diantara kekuatan Globalisasi yang dipenuhi dengan logika dan asumsi universal dengan kekuatan etno nasionalisme, namun bagi Indonesia tantangan tersebut bukan menjadi penghalang karena kekuatan Indonesia terletak pada landasan sejarah terbentuknya negara, yang menjadi perekat sebagai ingatan peristiwa simbolik dan rasa senasib dalam ikatan geopolitik yang satu. Namun demikian, akankah komitmen ini dapat dipertahankan, bila tantangan dan permasalahan dalam perwujudan wawasan kebangsaan dan nasionalisme belum dapat diselesaikan oleh bangsa Indonesia ?
2. Tantangan dalam National Building. Setelah berakhirnya perang dunia II, sebagian besar negara dibentuk berdasarkan pada etnik masing-masing, sehingga disebut sebagai sebuah negara bangsa, karena dalam sebuah negara hanya terdiri dari sebuah bangsa/etnik. Paling tidak dalam sebuah negara terdapat etnik mayoritas, seperti Belgia, yang terdiri bangsa Belanda, sebagai bangsa mayoritas ditambah bangsa perancis dan Jerman. Bahkan setelah berakhirnya perang dingin dan Uni Soviet runtuh, maka semenjak itu negara- negara yang sebelumnya menjadi bagian dari Uni telah berubah menjadi negara bangsa, setiap negara berpenduduk sesuai etnis tertentu, sebagai sebuah bangsa. Bangsa Indonesia, merupakan negara dengan rakyatnya yang terdiri dari banyak suku bangsa dan dengan kesepakatan bersama telah membentuk sebuah negara yang diikat dengan sebuah deklarasi yang menyatakan bahwa bernegara satu, berbangsa satu dan berbahasa satu yaitu Indonesia, sebuah kesepakatan yang terwujud sebagai bentuk rasa senasib dan seperjuangan untuk melepaskan diri dari kolonialisme.
Setelah Indonesia merdeka, dalam mengisi kemerdekaan, terjadi berbagai dinamika yang masih menghadapi berbagai tantangan yang menjadi tugas negara untuk menyele-saikannya, diantaranya pemerataan pembangunan, transisi sistem pemerintahan dan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan.
a. Proses pembangunan dan pemerataan hasil pembangunan, masih belum dapat dapat menjangkau seluruh wilayah, menyebabkan beberapa wilayah masih merasa belum diperlakukan adil dalam kesatuan nasional, karena hasil pembangunan belum dinikmati dan belum menyentuh rakyat di beberapa wilayah. Didasari dengan Undang-undang dasar 1945, Indonesia membagi wilayah pemerintahannya menjadi beberapa daerah tingkat I dan tingkat II dan memberlakukan otonomi daerah, dimana pada masa pemerintahan orde baru, kewenangan anggaran dan keuangan tersentalisir dipusat. Setelah reformasi negara menerapkan desentralisasi dengan membagi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam bentuk otonomi daerah. Namun semangat otonomi, ternyata belum difahami secara benar oleh pejabat pemerintah daerah otonom, sehingga keinginan negara untuk mendekatkan pemerintah kepada masyarakat agar optimalisasi pemberdayaan masyarakat didaerah serta pemerataan pembangunan dapat terwujud, namun sampai sekarang keinginan tersebut belum dapat terlaksana secara optimal, bahkan beberapa wilayah merasa di anaktirikan, karena pembangunan diwilayah tersebut belum mendapat prioritas yang memadai sesuai kepentingan daerah, padahal kewenangan telah didelegasikan kepada pemerintah daerah otonom.
Rakyat hanya mengetahui bahwa hasil kekayaan alam dari wilayah tersebut sebagian telah diserahkan kepada pemerintah pusat, sehingga rakyat menilai pemerintah pusat tidak bertanggungjawab melaksanakan pemerataan pembangunan. Masyarakat dibeberapa daerah menilai bahwa pemerintsah pusat telah menyalahgunakan kekuasaan, dengan mengambil hasil kekayaan dari daerah, tetapi prioritas pembangunan dilakukan diwilayah lain, bahkan mereka merasa karena etnisnya yang berbeda menjadi dikesampingkan. Pemerintah daerah yang seharusnya menyadari situasi seperti ini seharusnya berusaha secara optiomal memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa tugas pembangunan didaerah, sebagian besar telah menjadi tanggungjawabnya, namun belum mensosialisasikan kepada masyarakat, sehingga rakyat tidak mengetahui alasan mengapa pembangunan belum terlaksana dengan baik, sementara pemerintah daerah menghadapi berbagai permasalahan dalam pelaksanaan. Selain itu pemerintah daerah belum mampu mengajak rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pembangunan didaerah, karena berbagai alasan.
Situasi dan kondisi ketidakpuasan rakyat didaerah dimanfaatkan oleh fihak lain melalui penyusupan untuk mempengaruhi opini rakyat, menempatkan para ahli propaganda yang mahir mengemas permasalahan yang berkembang menjadi permasalahan yang menjadi bahan dan pemicu pertentangan dan konflik, sampai kepada tumbuhnya ide separatisme. Para aktor penyusup, baik secara langsung atau melalui LSM yang tidak netral, membuka kekurangan dan keterbatasan pemerintah sebagai isu yang disebarkan secara negatif, sehingga rakyat menilai bahwa para elit politik tidak pernah berfikir bagi kemajuan bangsa, hanya mementingkan diri pribadi dan golongannya, yang menyebabkan turunnya dan berkurangnya rasa kebanggaan sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Mereka dipengaruhi untuk berfikir bahwa akan lebih baik bila menjadi sebuah negara bangsa tersendiri, lepas dari Indonesia, karena mereka juga dipengaruhi bahwa dengan kekayaan alam wilayahnya, cukup memiliki kekuatan untuk menjadi sebuah negara.
Banyak kebijakan negara dinilai belum mencerminkan kebijakan nasional, tetapi hanya mencerminkan kebijakan bagi wilayah “jawa” . Mereka yang berada diluar jawa menilai semua kebijakan hanya mempertimbangkan Jawa dan menjadikan tatanan masyarakat jawa harus diterapkan dan menjadi acuan bagi masyarakat diseluruh wilayah Nasional, sebuah sikap yang menentang dari visi integrasi yang digagas oleh para pendahulu pendiri negara. sebagai contoh pada subsidi BBM, menurut mereka yang berada didaerah pedalaman, ada atau tidak ada subsidi, harga BBM sudah sangat mahal dan mereka berfikir apabila kebijakan ini dapa diterapkan diseluruh wilayah Indonesia, maka di Wamena, kiwirok, arso dan daerah pedalaman lainnya, mestinya dapat menggunakan premium dengan harga sama yaitu Rp.4.500,- . Pada kenyataannya diwilayah tersebut harganya bisa mencapai 5 sampai 10 kali lipat harga di Jawa. Hal inilah yang dinilai bahwa banyak kebijakan yang hanya berorientasi bagi wilayah jawa.
b. Indonesia masih berada pada masa transisi dari negara otoritarian menuju negara demokrasi. Keputusan negara melalui ketetapan MPR No VI /MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri, yang tidak dilandasi oleh pertimbangan yang akurat, telah mengorbankan kepentingan negara dan bangsa, karena pemisahan tersebut tidak didahului dengan pemisahan fungsi pertahanan dan fungsi keamanan, sehingga menimbulkan dampak yang berkepanjangan. Sebagai tindak lanjut atas ketetapan yang hanya melakukan pemisahan peran dan institusi TNI dan Polri, maka pemerintah hanya menerbitkan undang-undang Kepolisian dan undang-undang pertahanan. Padahal apabila ketetapan MPR terlebih dulu menetapkan pemisahan fungsi Pertahanan dan fungsi Keamanan, maka akan diterbitkan undang-undang Keamanan dan Undang-undang Pertahanan. Sehingga Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, merupakan implementasi dari amanat Undang-undang Pertahanan Negara dan seharusnya Undang-undang Kepolisian diterbitkan sebagai tindak lanjut "amanat undang-undang Keamanan", namun pada kenyataannya Undang-undang kepolisian, berdiri sendiri dan bukan merupakan kebijakan yang disusun sebagai tindak lanjut dari amanat undang-undang Keamanan.
b. Indonesia masih berada pada masa transisi dari negara otoritarian menuju negara demokrasi. Keputusan negara melalui ketetapan MPR No VI /MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri, yang tidak dilandasi oleh pertimbangan yang akurat, telah mengorbankan kepentingan negara dan bangsa, karena pemisahan tersebut tidak didahului dengan pemisahan fungsi pertahanan dan fungsi keamanan, sehingga menimbulkan dampak yang berkepanjangan. Sebagai tindak lanjut atas ketetapan yang hanya melakukan pemisahan peran dan institusi TNI dan Polri, maka pemerintah hanya menerbitkan undang-undang Kepolisian dan undang-undang pertahanan. Padahal apabila ketetapan MPR terlebih dulu menetapkan pemisahan fungsi Pertahanan dan fungsi Keamanan, maka akan diterbitkan undang-undang Keamanan dan Undang-undang Pertahanan. Sehingga Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, merupakan implementasi dari amanat Undang-undang Pertahanan Negara dan seharusnya Undang-undang Kepolisian diterbitkan sebagai tindak lanjut "amanat undang-undang Keamanan", namun pada kenyataannya Undang-undang kepolisian, berdiri sendiri dan bukan merupakan kebijakan yang disusun sebagai tindak lanjut dari amanat undang-undang Keamanan.
Dengan kondisi tersebut, maka timbul opini dimasyarakat, bahkan dipemerintah, bahwa Kepolisian sebagai pelaksana seluruh fungsi Keamanan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebagai pelaksana fungsi Pertahanan (pada strata operasional). “Andai saja” Negara pada waktu proses pemisahan berfikir relevan dengan melakukan pemisahan fungsi pertahanan dan fungsi keamanan, sebelum menetapkan pemisahan TNI dengan Polri, maka akan menjadi jelas bahwa keamanan menjadi otoritas kementerian "tertentu" dan posisi Kepolisian berada dibawah Kementrian " TERTENTU". Sedangkan fungsi pertahanan pada strata strategis telah terwadahi menjadi tugas kementrian pertahanan dan TNI berada dibawah koordinasi kementrian Pertahanan, sebagai pelaksana fungsi pertahanan negara pada strata operasional. Karena Kebijakan Negara ( dalam hal ini penerbitan Undang-undang) yang kurang relevan, menyebabkan opini publik tergiring seperti yang berlaku sekarang, rakyat dan pemerintah berpandangan bahwa keamanan menjadi domain Polri sedangkan Pertahanan menjadi domain TNI, sehingga menimbulkan kondisi yang sangat merugikan negara.
Akan berbeda hasilnya apabila pemerintah (semenjak awal) menerbitkan Undang-undang Pertahanan dan undang-undang Keamanan, maka rakyat dan pemerintah akan berfikir bahwa keamanan adalah fungsi pemerintah yang harus dilakukan bersama oleh semua institusi pemerintah dengan porsi yang dibagi kepada setiap institusi dan masing-masing institusi bertanggung-jawab sesuai perannya dalam menjaga keamanan, termasuk peran rakyat dalam tugas keamanan. Demikian juga halnya dengan tugas Pertahanan, tidak hanya menjadi domain TNI tetapi menjadi fungsi Negara yang penyiapannya menjadi tugas pemerintah yang harus dilakukan secara dini, setiap institusi mempunyai tanggungjawab dan peran sesuai fungsinya dalam perthanan Negara, termasuk bagaimana keterlibatan rakyat dalam upaya pembelaan Negara.
Seperti halnya dalam tugas keamanan, maka tugas menegakkan kedaulatan Negara, menjaga keutuhan wilayah dan melindungi keselamatan bangsa, diselenggarakan oleh semua institusi sesuai peran, tugas dan fungsinya termasuk peran serta rakyat, yang secara legalitas telah dipayungi oleh Peraturan Presiden nomor 41/2010, tentang Kebijakan umum Pertahanan Negara. Sehingga pada saatnya Negara ingin menyusun Undang-undang Keamanan Nasional, semua fihak “ pasti “ akan mendukung, dan mungkin saat ini Dewan Keamanan Nasional telah terbentuk dan berkarya dengan menyelesaikan berbagai permasalahan negara. Nasi telah menjadi bubur, apabila ingin menyelaraskan, maka harus mulai dari proses awal, yang tentunya akan menghadapi banyak “halangan dan rintangan”.
Seperti halnya dalam tugas keamanan, maka tugas menegakkan kedaulatan Negara, menjaga keutuhan wilayah dan melindungi keselamatan bangsa, diselenggarakan oleh semua institusi sesuai peran, tugas dan fungsinya termasuk peran serta rakyat, yang secara legalitas telah dipayungi oleh Peraturan Presiden nomor 41/2010, tentang Kebijakan umum Pertahanan Negara. Sehingga pada saatnya Negara ingin menyusun Undang-undang Keamanan Nasional, semua fihak “ pasti “ akan mendukung, dan mungkin saat ini Dewan Keamanan Nasional telah terbentuk dan berkarya dengan menyelesaikan berbagai permasalahan negara. Nasi telah menjadi bubur, apabila ingin menyelaraskan, maka harus mulai dari proses awal, yang tentunya akan menghadapi banyak “halangan dan rintangan”.
c. Pola hubungan sipil militer di Indonesia telah menciptakan pembatasan-pembatasan bagi Militer, sehingga banyak permasalahan yang lambat diselesaikan. Kebijakan negara yang diterbitkan dalam bentuk undang-undang yang dikhususkan bagi TNI menetapkan bahwa tugas TNI " ... menegakkan kedaulatan Negara, menjaga keutuhan wilayah ..." yang dilaksanakan melalui Operasi militer perang dan Operasi militer selain perang. Untuk melaksanakan tugas operasi militer selain perang, hanya dapat dilaksanakan oleh TNI setelah ada keputusan dan kebijakan politik negara, yang menyebabkan TNI tidak dapat memerankan institusinya dalam pembangunan Nasional.
Keputusan politik negara mengalami hambatan karena masih belum adanya struktur lembaga negara yang membidanginya. Kementrian koordinator politik, hukum dan kea-manan, juga masih berada diluar wilayah ini, sementara keinginan pemerintah menerbitkan kebijakan negara tentang Keamanan Nasional masih menghadapi banyak tentangan dari institusi yang merasa akan kehilangan kekuasaannya dalam pengelolaan negara, sehingga Undang-undang Keamanan Nasional yang akan menjadi dasar pembentukan Dewan kea-manan Nasional sampai saat ini masih menjadi wacana dan masih sulit untuk direalisasikan. Kondisi ini menjadi penyebab terhambatnya proses penyelesaian banyak permasalahan yang mengancam kedaulatan Negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. Disisi lain akibat rendahnya pendidikan rakyat, memunculkan penilaian seolah militer dan Intelijen sebagai institusi yang tumpul dan tidak mampu melaksanakan tugas untuk mencegah berbagai permasalahan yang dihadapi negara.
Institusi sipil yang memiliki kekuasaan besar, didominasi oleh individu yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan golongannya, bukan mengutamakan kepentingan pemberdayaan rakyat. Banyak rancangan pembangunan yang diarahkan kepada program mengurangi pengangguran dan pengentasan kemiskinan menjadi jalan yang sangat panjang karena belum menjadi konsentrasi dan prioritas dalam pelaksanaan pembangunan. Banyak kewajiban pemerintah daerah otonom yang tidak terselenggara dengan baik, sipil tidak berkonsentrasi pada kewajibannya dan terkesan kewajiban tersebut berada diluar kemam-puan pengelolaannya, sehingga perencanaan pembangunan hanya sebatas rencana yang sulit untuk diwujudkan. Dalam hal ini dapat diambil satu contoh nyata, dimana salah satu kewajiban pemerintah daerah otonom untuk “melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia” yang tertuang pada pasal 22 undang-undang RI nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, belum dapat menunjukkan hasil yang nyata, terbukti diberbagai wilayah masih terjadi konflik horizontal, tawuran antar kelompok, bahkan masih ada ide separatis yang berkem-bang sampai pada perlawanan bersenjata.
d. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998, yang berkembang menjadi krisis multidimensional, sampai sekarang masih dirasakan oleh rakyat dan masih belum dapat menghapuskan berbagai permasalahan yang dihadapi rakyat Indonesia. Krisis tersebut telah memicu munculnya gerakan reformasi yang mengusung beberapa tuntutan diantaranya penegakan supremasi hukum, penghormatan hak azasi manusia dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, desentralisasi pemerintahan melalui otonomi daerah, kebebasan pers serta kehidupan yang demokratis. Beberapa agenda reformasi telah dapat terlaksana meskipun belum sempurna, namun masih banyak yang masih bertahan, bahkan menjadi lebih parah diantaranya adalah Korupsi, kolusi dan nepotisme.
Korupsi semakin merajalela, melibatkan berbagai strata, apalagi dengan desentralisasi pemerintahan, otonomi yang diharapkan dapat mempercepat pember-dayaan rakyat, ternyata justru menambah wilayah korupsi. Kolusi juga masih berkembang dan banyak kasus yang muncul dipengadilan sebagai akibat dari praktek kolusi. Bahkan nepotisme semakin berkembang, sebagai upaya untuk memuluskan jalan agar korupsi dan kolusi dapat berlangsung mulus. Penempatan jabatan, tidak mempertimbangkan “kinerja dan prestasi yang baik” tetapi mempertimbangkan “ mereka yang mau diajak kerjasama” meskipun mereka yang dipilih adalah mereka yang “tidak memiliki kompetensi sesuai jabatannya dan tidak memiliki visi membangun serta tanpa memiliki kemampuan dan prestasi yang baik”.
Hampir semua agenda pembangunan dipengaruhi oleh kepentingan perorangan dan kelompok. Setiap kali terjadi pergantian pimpinan puncak sebuah organisasi, maka kekuatan "REZIM" lama akan diturunkan dan diganti dengan para "pengikut dan tim sukses", sehingga setiap kali proses suksesi berlangsung, akan menimbulkan keresahan dalam organisasi. “ Kesalahan” dalam agenda ini mengakibatkan lambatnya pembangunan, proses menejemen dalam organisasi tidak terselenggara dengan baik, karena organisasi tidak diawaki oleh mereka yang berkemampuan dibidangnya dan tidak didukung dengan niat mengabdi kepada negara.
3. Proses mewujudkan wawasan kebangsaan dan nasionalisme.
Wawasan kebangsaan bertujuan untuk menghidupkan kembali semangat kebangsaan, seperti yang tercermin pada semangat perjuangan melawan penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan, mendorong terwujudnya kehidupan yang harmonis, menjaga keutuhan bangsa, mendorong tercapainya cita-cita dan tujuan nasional . Organisasi militer saat ini menjadi satu-satunya institusi yang bersifat nasional yang tidak mengenal suku bangsa dan etnis dalam menempatkan awaknya dalam organisasi, sehingga memungkinkan bagi TNI untuk mengembangkan wawasan kebangsaan dalam organisasinya. Harus disadari bahwa implementasi kedalam masyarakat tidak akan semudah seperti penerapan dalam organisasinya sendiri, karena penerapan di masyarakat dan lingkungan masih menghadapi berbagai permasalahan seperti yang diuraikan pada pasal terdahulu. Namun demikian, sebagai organisasi yang mempunyai budaya yang positif, TNI akan berusaha semampu organisasinya untuk dapat mendukung kebijakan pemerintah dalam mewujudkan wawasan kebangsaan dan Nasionalisme di masyarakat melalui pendekatan budaya organisasi.
Dalam pelaksanaan implementasi, membutuhkan sebuah kondisi yang memungkinkan agar setiap institusi dapat menyebarluaskan kebijakan negara kedalam masyarakat. Agar sosialisasi 4 pilar berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan wawasan kebangsaan dan Nasionalisme dimasyarakat dapat terselenggara dengan baik dan lancar, proses awal yang perlu dilakukan adalah dengan menerapkan menejemen yang tepat, dimulai dari penyusun-an rencana yang terperinci, sehingga dapat dipedomani oleh setiap satuan pelaksana.
Sebelum menentukan pelaksana dalam pengorganisasian, terlebih dulu TNI harus menyiapkan Sumber daya Manusia dengan memberikan pembekalan pengetahuan dan metode yang akan diterapkan pada proses sosialisasi nantinya di masyarakat. Pada proses pelaksanaan, tidak dapat dilakukan secara simultan diseluruh wilayah, karena setiap wilayah menghadapi kondisi yang berbeda, sehingga hanya pada wilayah yang kondusif yang sudah dapat berkonsentrasi untuk menerima ajakan dan pengaruh positif dalam mengembangkan wawasan kebangsaan dan meningkatkan jiwa nasionalisme. Pada saatnya program dilaksanakan, TNI berkewajiban untuk menetapkan bahwa program harus akuntabel, dengan perencanaan anggaran yang jelas, pentahapan yang benar, penetapan sasaran pencapaian program yang jelas agar proses pengawasan program dan evaluasi hasil pelaksanaan program dapat terlaksana dengan baik serta program dapat dipertanggungjawabkan.
4. Koordinasi dan kerjasama antar Institusi.
Demi tercapainya pelaksanaan program mewujudkan wawasan kebangsaan dan nasionalisme, membutuhkan suatu kondisi yang memungkinkan, sehingga perlu dilakukan koordinasi dan kerjasama dengan pemerintah pusat dan daerah untuk mengurangi dan mengeliminir berbagai tantangan yang disampaikan pada pasal 2 diatas.
Menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi secara tuntas, jangan hanya yang terlihat dipermukaan saja, tetapi harus selesai sampai kepada akar permasalahan. Setiap institusi yang bertanggungjawab terhadap permasalahan yang muncul didaerah harus dapat menuntaskan permasalahan sesuai wilayah tugas masing-masing dan menggerakkan daerah sesuai dengan kebijakan nasional dibidangnya. Beberapa kondisi yang harus diperbaiki, karena akan menentukan keberhasilan program ini, yaitu :
a. Menyelesaikan berbagai permasalahan sosial yang terjadi dimasyarakat secara tuntas, diantaranya kesenjangan ekonomi dan penyediaan fasilitas pelayanan sosial diwilayah pedalaman. Apabila hal ini tidak dapat dilakukan dengan baik dan diprioritaskan, akan memunculkan permasalahan baru atau permasalahan yang ada akan berlanjut.
b. Para elit Politik dan pejabat negara, harus dapat melupakan kepentingan pribadi dan golongannya, memprioritaskan perhatiannya kepada kepentingan bangsa dan negara. Bila dapat diterima, setiap pejabat negara wajib melepaskan jabatan dan keanggotaan partai, sehingga tangungjawab jabatannya hanya kepada negara, tidak lagi dipengaruhi oleh kebijakan partai, karena hanya akan mengurangi keseriusannya dalam mengelola negara. Selain itu juga untuk menghilangkan persaingan antar kementrian dan institusi, meningkatkan loyalitas kepada pimpinan negara dan program nasional.
c. Menekan serendah mungkin angka korupsi, dengan langkah langkah yang membangun, diantaranya meningkatkan penghasilan melalui penyetaraan pendapatan pejabat negara dan pegawai pemerintah (termasuk karyawan BUMN) dengan pendapatan yang diterima oleh para pejabat negara dan pegawai pemerintah di negara – negara dalam satu kawasan, menyusun perangkat aturan yang detil dalam penggunaan anggaran, setiap kegiatan yang membutuhkan biaya harus dimasukkan dalam alokasi anggaran, sehingga tidak ada alasan penggunaan anggaran diluar kegiatan yang telah diprogramkan. Menghilangkan praktik kolusi yang merugikan keuangan negara dan mutu pembangunan serta menempatkan awak organisasi sesuai dengan kebutuhan kompetensi jabatannya, pertimbangan pemilihan awak organisasi karena integritas pribadi, kemampuan, kinerja dan prestasi.
d. Pemerintah pusat harus dapat menentukan kebijakan yang berorientasi nasional, sehingga semangat para pendahulu, dalam visi integrasi dan asimilasi dapat terwujud dan hubungan pusat dengan daerah menjadi lebih harmonis. Resiko atas kebijakan yang ditetapkan wajib ditanggung oleh pemerintah untuk menghindari ketidaksetaraan antar wilayah, sehingga setiap wilayah dapat menikmati hasil kebijakan secara adil dan merata.
5. Kesimpulan.
Masih banyak agenda yang menjadi tantangan Bangsa Indonesia dan harus dapat ditemukan jalan keluarnya. Permasalahan mendasar menyangkut “ kepentingan Nasional” masih belum seluruhnya mendapat perhatian, yang memunculkan problem dalam negeri, namun dinamika mengatasinya hanya bertumpu kepada institusi tertentu.
Apabila semua tantangan seperti yang disampaikan pada pasal terdahulu sudah dapat diselesaikan, niscaya program mewujudkan wawasan kebangsaan dan nasionalisme melalui sosialisasi 4 pilar berbangsa dan bernegara akan dapat terselenggara dengan baik dan secara bertahap sasaran program dapat tercapai. Namun sebaliknya apabila tantangan yang ada tidak dapat diselesaikan secara tuntas, maka program ini hanya akan sia-sia, karena kondisi kejiwaan masyarakat tidak memungkinkan untuk dapat menerimanya.
TNI dalam mengimplementasikan 4 pilar berbangsa dan bernegara kedalam organisasi sendiri tidak menghadapi hambatan, karena saat ini hanya TNI satu-satunya organisasi yang “Nasional” yang dapat menerapkan 4 pilar berbangsa dan bernegara, tanpa pengaruh sosial yang berarti. Para prajurit TNI juga harus dapat memberi contoh yang nyata dilingkungan masyarakat melalui penerapan 8 wajib TNI secara konsisten untuk menunjukkan bahwa TNI dimanapun berada memiliki budaya positif yang dapat disosialisasikan dan dapat berpengaruh kedalam kehidupan masyarakat disekitar pangkalan mereka.
[1] Alex Dinuth, Intelijen dan Nasionalisme dalam Jurnal CSICI ( 2006,192)
[2] Gunawan Sumohadiningrat, mewujudkan kesejahteraan bangsa ( 2009,129)
[3] Gunawan Sumohadiningrat, mewujudkan kesejahteraan bangsa ( 2009,128)
Tentang penulis :
Nama : Juanda Sy, M.Si (Han)
Pangkat : Kolonel Inf
Jabatan : Pamen Ahli Gol IV Kodiklat, bidang Ilpengtek.
Alamat : Makodiklat TNI AD, Jl. Aceh 50 Bandung.
Pendidikan :
Akabri th 1981, susarcab If, dasar para, susjurpa interogator, susjurpatih Nubika, Suslapa II, Seskoad, sesko TNI dan SSPS (postgraduate) Unhan.
Executive Course for Civil military relations, Naval Post Graduate School (NPS) Monterey, California, AS
Jabatan :
Danton, Dankiban, Dankipan, Kasiops, Dankima (Yonif 410/Alg), Wadanyonif 732/Banau, Danyonif 141/AYJP, Dandim 0405/Lahat, Pamen Bakorstanasda bidang Hukum, Waasops Dam II/Swj, Irmadya Itjenad bidang Organisasi dan pendidikan, Dirbinlem Secapaad, Danmensis Secapaad dan Danrindam XVI/PTM.
Penugasan : Irian jaya [ Danton (82/83), Danki (90/91), Wadanyon (93/94) dan Danyon ( 96/97) ], Timor Timur (1985-1988).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar