Minggu, 02 Mei 2010

intervensi



Dilemma antara kedaulatan dan tanggungjawab

Pada dasarnya tidak sebuah negarapun berhak untuk mencampuri urusan dalam negeri suatu negara berdaulat lain. Piagam PBB telah mengatur prinsip kedaulatan negara dan non-intervensi dalam Pasal 2 (1) yang berbunyi :
The organization is based on the principle of the sovereign equality of all the members.”
Pasal 2 (4) :
All members shall refrain in their international relation from the threat or use of force against the teritorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the purpose of the United Nations.”
Pasal 2 (7) :
“Nothing contained in the present charter shall autorize the United Nations to intervene in matters which essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present charter, but the principle shall not prejudice the application of enforcement measures under chapter VII.”

Ketentuan piagam tersebut dengan jelas menyatakan bahwa dalam hubungan antar negara tidak diperbolehkan adanya intervensi. Pengaturan tersebut semakin dikuatkan dengan resolusi majelis umum PBB no 2625 (XXV) yang dikeluarkan tanggal 24 Oktober 1970, yang kemudian diterima sebagai Deklarasi Majelis Umum Tentang Prinsip-Prinsip Hukum International Mengenai Hubungan Persahabatan dan Kerjasama Antarnegara yang Berkaitan dengan Piagam PBB.[1]
Pada perkembangannya, prinsip-prinsip kedaulatan sering diabaikan oleh kepentingan yang libel besar dan menjadi urusan internasional, yang ditandai adanya alasan-alasan kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan di Irak tahun 1991, Somalia tahun 1992 dan Kosovo tahun 1999 dapat dijadikan bukti bahwa doktrin tersebut telah dilakukan oleh negara-negara dalam hubungan internasionalnya.
Tindakan suatu negara atau aliansi melakukan intervensi hampir selalu didasari alasan adanya tragedi kemanusiaan yang luar biasa sehingga dapat mengancam kedamaian dan keamanan internasional yang menjadi tujuan dibentuknya organisasi perserikatan bangsa-bangsa. Negara-negara secara internasional berfikir bahwa tragedi kemanusiaan sudah menjadi urusan internasional, sehingga dapat mengabaikan hak berdaulat sebuah negara. Negara, diberikan kedaulatan, sebagai alat untuk melayani rakyatnya, bukan sebaliknya. Oleh sebab itu, kedaulatan negara tidak boleh disalah gunakan untuk melakukan pelanggaran Hak Azasi Manusia, apalagi melakukan tindakan pemusnahan etnis sebagai aksi genosida.[2]